4 | ghibah bapack-bapack

25.7K 2.9K 317
                                    


Mail mendadak mual.

Sialan emang si Ehsan. Jadi temen nggak ada peka-pekanya.

Terlepas dari tahu enggaknya soal hubungan Mail dengan Trinda, mengungkit-ungkit soal background Mail yang nggak mantuable tuh menyakitkan.

Tanpa Ehsan ingatkan, Mail juga nggak akan pernah lupa. Tapi sebagai sahabat, bukankah si kupret seharusnya berada di pihaknya?

Sering gonta-ganti pacar di masa lalu tuh sama sekali bukan maunya Mail. Bukan karena bosenan, pengen ngerasain adu mekanik dengan banyak cewek, apalagi karena sok kecakepan. Not. At. All. Di antara puluhan hubungan yang pernah Mail jalani, alasan putusnya cuma satu: memang sudah nggak bisa dipertahankan setelah usaha sedemikian rupa.

Salah nggak Mail nyari pacar baru setelah putus? Enggak, dong. Salah nggak kalau Mail ngajak pacarnya—di masa itu—liburan bareng-bareng circle-nya ke Magelang? Enggak dong.

Terus salah siapa kalau Mail dan Trinda berakhir jatuh cinta satu sama lain, berniat menuju jenjang lebih serius, tapi imej Mail kadung jelek di depan keluarga Trinda?

Dengan sebal dan menahan muntah, Mail meletakkan gelas keempatnya ke meja, melirik Ehsan yang kayaknya mulai mengantuk.

Melihat isi botol masih sisa setengah lebih, kemungkinan temannya itu menghabiskan lima atau enam shots. Anggaplah satu shot 300 ribu, hmm ... quite generous.

"Gue nggak usah balik, ya? Nanggung, udah mau pagi." Ehsan nyerocos sambil menggesek-gesekkan lehernya yang gatal ke pinggir lengan sofa, dengan sepasang mata mulai menyipit.

Mail berdecih. Mau pagi gimana? Baru juga jam 12.30! "Bukannya dari awal niat lo emang nggak balik?"

"Bener juga, sih." Ehsan ketawa malu-malu. "Brothers share the same brain cells, indeed. Seneng gue kalo lo bisa baca pikiran gini. Kan gak perlu capek-capek ngomong."

Nyenyenyenye.

"Sikat gigi baru ada, kan?" Ehsan meringis, sudah tahu jawabannya, soalnya si Mail ini pernah mengkampanyekan sikat gigi biodegradable karya anak bangsa—yang kemudian jadi salah satu merch Nowness. Tak lupa dia sendiri membeli produknya sekardus, lalu dibagi-bagikan ke semua teman-temannya. Sudah pasti di rumahnya nyetok banyak, kan? "Nanti gue kasih nama, biar kapan-kapan kalau ke sini bisa kepake lagi?"

Yang ditanya cuma memutar bola mata. Membiarkan temannya itu nyelonong ke kamar mandi tamu sementara dia mau menghabiskan dua potong extra dark chocolate yang tersisa di piring. Baru kemudian menyimpan kembali botol minuman ke cellar dan cuci-cuci, karena siapa lagi yang mau nyuci gelasnya? Menunggu Ehsan sadar diri? Mimpi aja.

"Kamar gue di mana?" Kelar cuci muka dan gosok gigi, temannya itu nanya. Sama sekali nggak terganggu melihat pemandangan tuan rumah sibuk di balik sink.

"Biasanya di mana, sih?" Mail balik nanya, judes.

"Di kamar lo."

"Ke kamar tamu sono."

"Udah berapa lama gak ditempati? Besok gue gak mendadak asma gara-gara kasurnya debuan, kan?"

"Lo ngeremehin kerjaan Mbak Pia?"

"Nggak, nggak, nggak. Sorry, sorry. Jangan laporin Mbak Pia." Cecunguk itu kabur ke kamar tamu—yang pada zamannya pernah jadi kamar Trinda.

Mail baru saja naik ke kasur ketika temannya mengetuk pintunya dan muncul di kegelapan.

"Ternyata Mbak Pia cuma manusia biasa. Nggak ada pilihan lain, gue numpang di kasur lo."

"Dih?"

"Elo sih, punya kamar tamu tapi jarang nerima tamu. Bukan salah Mbak Pia juga kalau dia nggak pasang sprei." Ehsan beringsut ke sebelah temannya, menarik sebagian selimutnya. Mail mendengarnya mengendus-endus wangi reed diffuser Trinda, yang dari namanya saja sudah genit, ada orgasm-orgasm-nya, tapi syukur dia memutuskan nggak julid. "Gimana kalau lo angkat gue jadi tamu tetap?"

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now