25 | dibayar tunai

11.7K 1.6K 301
                                    

7 chapter lagiiiii

Btw, nulis ini w abis 2 gelas kopi sampe beser, bolak-balik toilet. Kalo gak dikomen, kek cinta w bertepuk ke kalian sebelah tangan ga sieh? Mending kita putus aja. Aku terlalu bhaiq buat kamu yang cuek bebek, beb.


"Di sini udah delapan tahun juga?"

Dibanding ruko pertama, Pakde terlihat lebih tertarik dengan ruko kedua yang terletak tepat di pertigaan.

Dengan adanya tempat parkir di kedua sisi dengan entrance masing-masing, memang akses jadi lebih mudah dari kedua ruas jalan yang dilewati.

Kalau nggak keburu menghabiskan duitnya di Bali, sudah pasti Mail duitin juga itu ruko dari kemarin-kemarin. Pasalnya, selain lokasinya strategis, lingkungan ruko tersebut bagus, bersih, premium. Sesuai brand image Nowness. Sejak pertama kali mendirikan coffee shop di situ, alhamdulillah nggak pernah sepi juga. Memang kemampuannya memilih lokasi nggak pernah salah.

"Yang ini baru lima tahun, sih, Pakde. Soalnya dibanding yang lain, di sini paling lumayan sewanya. Belum lagi, modal buat renovasi interior. Jadi sempet mikir-mikir lama dulu sebelum deal." Mail menjawab sambil mengajak kedua tamunya naik ke lantai dua dan tiga.

Kalau lantai satu cukup crowded oleh antrean dan lalu lalang pengunjung, maka lantai dua lumayan kondusif digunakan untuk WFC karena banyak spot-spot semi private, mulai dari meja besar dengan belasan kursi plus proyektor yang bisa dipakai tanpa tambahan biaya, sampai spot untuk satu orang. Kalau mau yang lebih tenang ambience-nya, masih ada lantai tiga.

"Tapi bisa survive, nggak nutup satu outlet-pun waktu pandemi, hebat loh." Pakde berkomentar setelah tiba di lantai tiga.

Mail cuma bisa tersenyum bangga karena timnya cukup sigap beradaptasi dengan kebutuhan konsumen selama dan pasca pandemi.

Kalau harus membandingkan harga kopinya dengan kopi-kopi lain, mungkin termasuk pricey. Tapi Nowness menawarkan banyak hal lain.

"Sebelum kamu, kosong lama?" Ganti Mbak Elok yang bertanya.

"Setengah tahun ada. Dulunya ini restoran jepang."

Seolah nggak ada capek-capeknya, mereka lanjut melihat ruko ketiga.

"Pakde sama Mbak Elok kalau kurang srek sama yang kita lihat hari ini, tapi masih tetep pengen cari-cari properti lain di Jakarta, Mail bisa kenalin ke temen. Yang biasa bantu nyariin lokasi buat Nowness juga." Dengan begitu, Mail menutup tour mereka hari ini.

~

"Coba bilang ke gue, kenapa lo lebih demen Zane atau Bimo yang duitin rukonya daripada camer lo sendiri?" Oscar seolah bisa membaca ekspresi Mail ketika tuh orang kembali ke kantor dengan wajah seperti habis mabuk perjalanan. "Harga diri lo terkoyak karena secara nggak langsung Bapak Ardiman memproklamirkan kekayaan Trinda jauh lebih banyak daripada lo?"

"Apaan banget deh?" Kontan Mail membantah mentah-mentah.

Dia nggak akan pernah merasa inferior cuma karena harta duniawi.

Dan kalau memang sematerialis itu, nggak mungkin Bapak Ardiman merelakan putra sulungnya jadi budak korporat di Jakarta alih-alih meneruskan usaha keluarga di Magelang. Atau dengan gampangnya mengiyakan Gusti menikahi Iis, dan melangsungkan seluruh prosesi yang diperlukan dalam kurun waktu hanya tiga bulan, padahal putra mereka bukan tipe yang akan menolak dijodohkan dengan putri-putri keraton.

Tapi ... bukan berarti Mail nggak memikirkan kemungkinan tersebut sama sekali.

Menjadikan mertuanya sendiri sebagai tuan tanah, kalau nanti terjadi apa-apa gimana? Kalau bisa memilih, Mail ingin memisahkan urusan bisnis dengan urusan keluarga.

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now