15 | ... seperti itu

10.8K 1.7K 105
                                    


Ditinggal Bude Hari bukannya lega, Mail malah makin susah napas.

Dengan langkah gontai dia kembali ke joglonya, gosok gigi, cuci muka, lalu menyembunyikan diri di balik selimut.

Badannya lemas. Bahkan untuk sekadar mengecek HP, kalau-kalau ada notifikasi penting saja dia nggak sanggup. Setelah percakapan dengan Bude Hari tadi, rasa-rasanya nggak ada urusan apapun yang nggak bisa diundur sampai besok pagi.

~

Tentu saja Mail nggak bisa tidur sama sekali.

Meski sepasang matanya merem, kepalanya jalan ke mana-mana. Padahal kalau ditanya apa yang dia pikirkan, nggak ada jawabannya. Ngambang. Bahkan mengenai kemungkinan hasil obrolan lanjutan dengan Bude Hari besok pagi pun enggak ada, karena sudah dia putuskan untuk nggak overthinking dan menjalani sebisanya.

Begitu terdengar adzan Subuh, dengan mata perih dia paksakan berjalan kaki ke mushola. Dan segera kembali setelah selesai salat untuk bersiap-siap.

Matahari sudah lumayan naik ketika Bude Hari keluar dari joglonya dengan setelan lari.

Dengan basa-basi sekadarnya, Bude mengajak menyusuri jogging track ke arah resort. Lalu berhenti di salah satu gazebo di bawah pepohonan.

"Sudah berapa lama?" Bude bertanya straighforward, setelah Mail duduk di seberang meja. Wajahnya tidak seramah biasanya.

"Hampir delapan bulan."

"Gusti tahu?"

Mail mengangguk. "Baru beberapa hari yang lalu. Tapi kalaupun Gusti nggak tau, saya tetep akan ke sini. Kami pacaran backstreet karena butuh space untuk sama-sama meyakinkan diri, tapi bukan berarti nggak berniat serius."

"Terus reaksi Gusti gimana?"

Mail tersenyum kecut. Pertanyaan-pertanyaan Bude terlalu cepat susul-menyusul. "Dia minta saya jauhin Trinda. Sekarang Trinda ada di tempat Gusti. Rencananya di sana terus sampai Iis melahirkan."

"Gimana menurutmu, reaksi Gusti itu?"

Well, rasanya kayak pertama kali tes wawancara kerja. "Tentu aja saya paham kenapa dia begitu, Bude. Dateng ke sini juga nggak mudah buat saya. Saya sadar record saya nggak bagus. Tapi gimanapun juga, kalau memang serius, ya saya harus berani dateng. Trinda juga paham, pacaran sama saya berarti nggak akan gampang dapet restu. Dia masih muda banget, kuliah juga belum lulus. Karena itu selama ini kita pikir lebih baik keep dulu sampai bener-bener yakin. And now is the time, Bude. Kalau Bude dan Pakde mengizinkan, kita berdua sudah siap ke jenjang selanjutnya."

Bude menghela napas.

Mail ikut menghela napas, bersyukur diberi jeda untuk mengistirahatkan jantungnya, meski masih terlalu dini untuk merasa lega, karena garis-garis kaku di wajah wanita paruh baya di depannya ini belum mengendur.

"Trinda duluan yang suka sama kamu?"

Mail mengangguk tipis, kali ini tidak merasa perlu menjelaskan.

Bude ikut mengangguk. "Bude tau, Trinda kayak gimana. Ngeyelan. Kalau Bude jadi kamu, pasti serba salah juga. Dideketin Dek Trinda, pasti nggak enak kamu nolaknya. Tapi kalaupun kamu nerima dia, pasti sungkan juga sama Bude-Pakde. Belum lagi Trinda manjanya kayak gitu, pasti kamu kerepotan banget selama ini."

Mail menggeleng cepat. "Sama sekali nggak ada yang repot, Bude. Saya sayang sama anak perempuan Bude."

Sekali lagi ada jeda.

Mail bisa menangkap keputusasaan di wajah di depannya.

Dan nggak mungkin dia nggak paham. Kalau dia jadi orang tua, emang dia mau anak gadisnya dapet laki modelan Mail??

"Trinda masih labil, Mas. Sebentar-sebentar ganti haluan. Kamu nggak khawatir suatu saat dia berubah pikiran? Kamu nggak khawatir kamu cuma dimanfaatkan biar dianggep udah dewasa? Tanggung jawab nyelesaiin kuliah aja dia belum bisa. Padahal dia sendiri yang nentuin mau kuliah dan dia sendiri yang nentuin kampus dan jurusannya."

Mail nggak perlu menjawab.

That obviously means 'no'. That's a clear rejection. Only in subtle language.

Selanjutnya, Bude Hari memberikan closing statement. "Kasih waktu dulu ya. Buat kamu, buat Trinda, buat Bude-Pakde, buat mempertimbangkan lagi semua ini. Paham maksud Bude, kan? Buat kamu, susah dateng ke sini. Buat Bude, juga susah bikin keputusan harus nanggepin gimana. Sebagai orang tua, Bude ingin bersikap bijaksana, tapi ini pertama kali Bude ngalamin punya anak gadis. Bude juga masih terus belajar. Dan sejujurnya, pernyataan kamu semalam bikin Bude patah hati. Kamu udah Bude anggep anak Bude sendiri. Bandelnya kamu, Bude tahu semua. Jadi yang bisa kita lakuin sekarang, Bude sepakat dengan Gusti. Kasih waktu dulu buat masing-masing, terutama buat kamu. Coba pikirin diri kamu sendiri, jangan pikirin Trinda. Maumu sebenernya gimana. Beneran sudah mau serius? Kalau udah, apa kamu yakin, Dek Trinda orangnya? Jangan karena udah pacaran lama—Bude nggak akan tanya sejauh apa hubungan kalian—terus kamu merasa hubungan kalian wajib lanjut ke pernikahan sebagai bentuk bertanggung jawabmu. Jangan. Jangan kayak gitu. Memang, dengan alasan apapun, banyak pernikahan yang langgeng dan bahagia. Tapi untuk kamu dan Dek Trinda, Bude nggak mau gitu. Dari awal udah harus plong, nggak boleh ada yang ngeganjel."

Right.

For now, nothing he can do. Sudah bagus dia ditolak baik-baik.

"Saya rencana langsung balik ke Jakarta pagi ini, Bude. Pakde habis dari SG ke Jakarta dulu, kah? Boleh saya temuin di sana, atau menurut Bude, nanti-nanti dulu?"

"Pelan-pelan, Mas. Sekarang lewat Bude dulu udah cukup. Kita obrolin lagi kalau kerjaanmu yang di Bali selesai, skripsi Dek Trinda selesai. Sepakat?"

"Mail mengangguk, sepakat.

~

"Gue udah di kantor." Berjam-jam kemudian, Mail sudah kembali masuk kerja dan mengangkat telepon dari Ilyas, yang memang janjian dengannya selepas jam makan siang.

"Oke, gue sama Bu Ivanka otw. Bentar lagi nyampe."

Seusai bosnya mematikan telepon, gantian Oscar yang nyari perhatian. "Lemes amat? Beneran nggak dapet restu?"

Mail tentu saja ogah meladeni kekepoan PA-nya itu.

"Weekend jadi ke Bandung? Mau dicariin supir?"

Kening Mail mengernyit sedikit. "Nyetir ke Bandung capek nggak? Gue udah lama nggak nyetir jauh."

"Capek, lah. Tiga jam, kalo nggak macet. Elo kan udah jompo. Kecuali kalo Dek Trinda yang nyetir. Tapi kalo pake supir, nanti lo nggak bisa ciuman di mobil. Jadi, pilih mana?"

"Setir sendiri aja."

"Belum tobat ternyata. Okedeh."

Baru juga Ismail menghela napas, Ponselnya bergetar lagi.

Ugh, Mail butuh liburan.


Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now