30 | hold on

10.5K 1.5K 163
                                    

Voucher untuk 20 orang di part sebelumnya udah kukirim lewat dm semua yaa.



Judulnya, memang Mail batal menetap permanen di apartemen Trinda di Depok—karena tu cewek nggak jadi hamil kan, yang berarti mereka berdua harus kembali ke rencana semula, yaitu putus dalam waktu dekat. Tapi realisasinya, hampir setiap malam dia tetap mendatangi kediaman pacarnya itu.

Sebenarnya nggak diperlukan. Tapi, karena hingga beberapa minggu berselang si Bude belum juga ngomong ke anak bungsunya, mau nggak mau Mail harus mempertahankan status quo, alias tetap berlagak jadi pacar yang baik.

Tiap sore pulang kerja, jadilah nyetir ke arah Depok menjadi rutinitasnya. Mana tahu Trinda butuh bantuan, kan? Atau sekadar butuh teman begadang. Atau butuh disemangati setelah seharian ngampus.

"Ibu bilang udah resign dan lagi beresin sisa kerjaan sampe minggu ini. Mulai minggu depan mau ke sini, ikut tinggal di sini, nemenin aku sampai skripsi kelar. Tapi jelas aja aku nolak." Suatu malam, ketika Mail baru saja tiba dengan rantangan tester menu makanan berat terbaru Nowness, Trinda yang duduk di ruang tamu bercerita.

Mail mengangguk-angguk sembari meletakkan bawaannya ke meja makan.

Siap nggak siap, waktunya untuk pergi akan segera tiba.

"Terus ibumu jawab apa?" tanyanya, berusaha terdengar datar, padahal aslinya nelangsa.

"Belum jawab apa-apa." Trinda kelihatan nggak terlalu antusias. "Paling juga ntar di sini sehari-dua hari dia bosen sendiri."

Mail cuma ngangguk-angguk, tidak berniat mengorek-ngorek lagi. Jadilah dia hentikan obrolan tersebut sampai di situ saja dan ganti menceritakan hal lain, "Kemarin Igor ngidam Hainan. Terus Naning coba bikinin dan ternyata orang sekantor sepakat approve semua. Padahal nggak masuk konsep, tapi kok enak. Ya udah, jadinya dimasukin ke daftar menu baru."

Trinda manggut-manggut sembari menguncir ulang rambutnya yang berantakan, lalu bangkit berdiri dan berjalan terseok-seok menghampiri pacarnya di dapur.

Melihat penampakannya seperti ini—seperti hari-hari lain dalam sebulan terakhir—siapapun bakal mengira tu anak sedang bekerja di bidang yang sangat kompetitif dan mengharuskan lembur setiap hari. Padahal lulus aja belum.

"Baunya enak. Duh, langsung lapeer." Cewek itu memeluk pinggang Mail dari belakang, menumpukan dagunya di pundak Mail, dan mengekor ke manapun langkah Mail tertuju.

Yang lagi dipeluk tetap membongkar rantangnya dan memasukkan ke microwave tanpa komen. Dia juga nggak memberikan reaksi berlebihan terhadap tindakan pacarnya.

What else can he do? Selain bersabar sampai Bude Hari datang menggantikan posisinya?

"Potong buah apa gitu kek, Babe. Mulut pahit banget." Mail ngucap asal saja biar Trinda melepaskan dirinya.

"Apa? Mangga?" Trinda balik nanya tanpa berprasangka.

"Emang musim mangga?"

"Nggak tau. Pokoknya ada mangga di kulkas."

Mail menyetujui saja pilihan si cewek, lalu menggunakan berakhirnya timer pada microwave sebagai alasan untuk cabut duluan dari dapur dengan membawa rantang panas ke meja ruang tamu. Lalu balik lagi ke dapur mengambil ceret air putih dan gelas. Kemudian menyalakan TV biar nggak hening.

Iya, emang rasanya kaku. Wong tinggal nunggu hari H putus, masa mau manis-manisan? Makin patah hati mereka berdua dong.

"Udah bawa sendok garpu, Mas?" Trinda nanya sambil mencuci tangan setelah selesai mengupas dan memotong mangganya.

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now