22 | kukira kau rumah [part 2]

9.9K 1.6K 147
                                    

Lihat jumlah komen di part sebelomnya kok pedih ya boend #nangesdipojokanstarbakPI


Betul saja, Bude Hari lewat di depan joglo ruang tamu sebelum Mail dan Trinda sempat bicara banyak.

Beliau tidak sendirian, melainkan bersama sekompi ibu-ibu berpakaian batik. Yang segera masuk ke dua kendaraan yang muncul tak lama setelah mereka tiba.

"Aku beneran nggak ngerti, kenapa Mas kelihatan kecewa banget sama aku. Dan nggak ngerti kenapa sampai bela-belain dateng ke sini sekarang. Tapi yang jelas, pasti ada salah paham di antara kita." Trinda masih ngoceh.

Mail memintanya tutup mulut dulu selagi Bude Hari berjalan menghampiri tempat mereka. Tapi karena tuh anak keukeuh, Mail menjanjikan akan meladeninya ngobrol nanti setelah sesi dengan sang ibu selesai.

"Nggak jadi berangkat, Nduk?" Bude Hari mengambil tempat duduk di seberang mereka berdua, lalu bertanya pada putrinya.

Trinda menggeleng. "Enggak. Hari ini sama besok aku WFH. Jadi masih bisa balik besok."

"Ya udah, kamu masuk dulu. Ibu mau ngomong berdua sama Mas Ismail." Sang ibu kemudian memberi titah.

Trinda ingin protes, tapi Mail memberi kode supaya kooperatif.

Dengan berat hati, cewek itu berdiri. Bukan hanya membawa travel bag-nya, tapi dia juga mengangkut tas laptop Mail bersamanya. "Aku tunggu di ruang makan. Mas pasti belum makan siang."

Mail segera mengiyakan biar pacarnya cepat berlalu.

Bude menunggu putrinya betul-betul meninggalkan tempat. Meski sadar bisa saja cewek itu menguping, beliau tidak berusaha memastikan.

"Lain kali, nggak perlu ke sini setiap kali Bude telepon. Tadi pagi Bude cuma nyampaikan uneg-uneg, bukan minta kamu ke sini, kan? Jakarta-Magelang nggak deket. Mana lagi hari kerja. Pasti urusanmu yang lain masih banyak." Tanpa basa-basi, Bude bersuara dengan ekspresi tegas.

Mail berusaha meyakinkan diri bahwa itu adalah ekspresi seorang ibu ketika mengomeli anaknya sendiri, tapi sulit. Sebagian dari dirinya tiba-tiba saja sudah berpikiran buruk, bahwa bude mulai menumbuhkan rasa tidak suka terhadap dirinya.

"Saya lebih nyaman ngobrol langsung, Bude. Takut salah paham kalau lewat telepon." Mail menjelaskan. Sebenarnya nggak terlalu bersemangat seperti pertemuan mereka sebelumnya, tapi dia tahan-tahan. Takut menyesal kalau sekarang usahanya hanya setengah-setengah.

"Ya sudah, terserah kamu kalau gitu. Tapi karena minggu lalu kita ngobrol dan ketemu langsung, bukankah harusnya sudah jelas dan nggak ada perbedaan tafsir di antara kita? Bude kira kita udah sepakat untuk nggak ngasih tau pakde dulu soal hubunganmu dan Dek Trinda. Jadi wajar kalau bude kecewa kan, Mas?"

Mail mengangguk, meski dalam hati mengutuk.

Sepuluh tahun berpengalaman menjadi bos yang seringkali terpaksa menanggung dan mengakui kesalahan karyawan sebagai kesalahannya, ternyata masih juga nggak membuatnya legowo menanggung kesalahan perempuan yang dicintainya. Padahal, bukankah nanti kalau sudah jadi suami-istri, sehebat apapun komunikasi di antara dia dan Trinda, kejadian seperti ini bisa saja terjadi, dengan intensitas yang mungkin lebih sering, seiring makin lama durasi dan makin luas lingkup hubungan mereka?

"Saya cuma bisa minta maaf, Bude. Saya sadar saya salah. Saya dan Trinda masih harus belajar banyak dalam hal komunikasi. Tapi kami harap Bude nggak berpikir kalau kami bermaksud mengkhianati Bude dengan langsung ketemu Pakde. Kami menghormati syarat yang Bude kasih. Jadi terlepas dari yang terjadi hari ini, kami akan tetep pastiin nunggu Dek Trinda lulus dulu sebelum ketemu Bude-Pakde dan ngobrol lebih jauh lagi."

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang