28 | deal breaker

11.1K 1.6K 248
                                    


Mail mimpi pindah ke Bali, ke sebuah rumah sederhana bernuansa tropis dekat pantai.

Nggak tahu pantai mana, pokoknya sepi dan berpasir putih, yang ombaknya kece banget untuk dipakai surfing.

No woman around. Just a big white doggo.

Ofc, 'no woman' dalam kamus Mail bukan berarti benar-benar nggak ada, melainkan nggak ada yang 'official'.

What a life, no?

He used to fantasize about living a life free of drama. Tidak terikat komitmen dengan manusia manapun. Tidak membiarkan siapapun mengikis kebebasan dan kebahagiaannya dengan berbagai ekspektasi. Meminimalkan masalah seminimal-minimalnya.

Kalau kata netizen, keinginan seekstrem itu adalah manifestasi dari kepahitan hidup yang dia alami di masa silam. Dan kata mereka pula, nanti lama-lama juga berubah pikiran.

Well, mereka sotoy.

Walau ucapan tersebut valid berdasarkan pengalaman pribadi mereka, tapi yang valid bagi mereka belum tentu valid bagi orang lain. Dan dalam piramida sifat buruk manusia, sotoy ini Mail klasifikasikan sebagai deal breaker pertama.

Berisik, anjing. Bermanfaat enggak, bikin budek kuping doang buat apa?

Tentu, jalan pikiran manusia itu dinamis. Keinginan dan pandangan bisa berubah-ubah seiring pengalaman. Menjilat ludah sendiri juga harusnya bukan sesuatu yang memalukan. Sebaliknya, merupakan pertanda bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan kian bertambah.

Tapi, balik lagi ke atas, menggurui dan mengivalidasi perasaan, pengalaman, pandangan, atau keputusan orang lain tuh enggak banget!

Manifestasi kepahitan hidup? Duh. Gimana kalau menurut Mail harapannya yang nyeleneh bagi kebanyakan orang itu hanya salah satu dari sekian pilihan yang menurutnya masuk akal? Nggak perlu bernasib malang dulu untuk memilih hal yang berbeda dari keinginan orang kebanyakan.

Lama-lama berubah pikiran? Yeah, he did. Tapi jelas bukan karena omongan netizen maha benar. Sampai sekarang pun dia masih merasa nggak ada yang salah dengan jalan pikirannya di masa silam. Yang membuatnya berubah haluan adalah kapasitasnya dalam menoleransi masalah, menoleransi invasi orang lain dalam hidupnya, jadi makin besar. Dan itu adalah satu-satunya alasan, alih-alih berada di Bali sekarang, dia malah berada di Park Hyatt, dengan satu-satunya perempuan yang dia 'toleransi' untuk mengusik kebebasan dan ketenangan hidupnya, menunggu matahari meninggi melalui floor to ceiling window di seberang tempat tidur mereka.

"Mau turun sarapan jam berapa?" Perempuan kesayangannya itu bertanya dalam pelukan Mail, memaksa Mail move on dari mimpi yang sedang dia ingat-ingat.

"Hmm ...." Wangi ginger yang manis tercium dari helaian rambut Trinda, memanjakan penciuman Mail. Cowok itu kemudian balik nanya sebagai bahan pertimbangan, "Bapak ibumu flight jam berapa?"

Mail bebas hari ini, nggak ada agenda apapun. Jadi kenapa bukan dia saja yang mengantar mereka ke bandara?

"Jam satu."

"Bilangin, aku yang nganter ke bandara."

"Tapi aku nggak bisa nemenin. Ada meeting sama Mamanya Saga siang ini."

"Oh?" Sebelah alis Mail terangkat sedikit. "Masih kerja aja? Aku udah minta Iis nge-cut kamu dari project yang lagi jalan lho."

"Terakhir." Trinda meyakinkan. "Masa aku mau cabut nggak pamitan? Nanti klienku nyariin."

"Oke. Aku nganter sendirian nggak apa-apa."

"Yakin?" Sepasang mata cantik itu mencari-cari miliknya.

"Yakin." Mail mengangguk mantap.

Dated; Engaged [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang