Om, Jangan Pergi.

10.2K 547 23
                                    

Aku menendang pintu kamarku cukup keras hingga tertutup, mencegah siapapun untuk membukanya. Saat ini aku sedang dalam keadaan yang benar-benar lebih dari kata buruk.

Aku marah. Aku kesal. Aku murka.

"Ty... "

"Berisik!"

Aku menendang pintu kamarku lagi, mencegahnya dibuka oleh orang di luar sana. Nggak, aku nggak mau Om Afif masuk. Aku nggak mau liat dia.

Aku bersandar pada kaki tempat tidurmu, duduk di lantai kamar dengan kaki yang tetap berusaha menahan pintu kanselir. Nggak, aku nggak mau siapapun masuk.

"Non Aira, buka dulu pintunya."

Aku menendang kuat-kuat daun pintu, menimbulkan suara keras yang tidak nyaman didengar, sebagai tanpa penolakanku untuk membuka pintu.

"Sudah bi, biar saya saja. Biar ini jadi urusan saya dan Aira."

Basi. Terus aja terus. Terus berusaha nanganin aku tiap aku lagi kayak orang kesetanan begini, nanti kalau dia nggak ada siapa coba yang mau makan hati ngehadapin aku yang kayak orang nggak waras ini.

Sok jadi malaikat banget, padahal abis nyungsepin aku ke got. Benci. Beneran aku benci.

"Ty, ayo keluar dulu. Kita bicarakan lagi baik-baik."

Aku diam. Aku nggak mau bicara apapun lagi sama Om Afif. Percuma! Apapun yang aku ucap, mau aku ngomong ampe berbusa kayak orang overdosis juga tetep aja. Tetep aja dia bakal pergi.

Iya... Om Afif mau pergi.

Dia bilang, dia dapet tawaran kerja bagus di Lombok. Dan dia sudah deal. Padahal, aku rasa dia tau banget gimana keponakannya ini. Kenapa jahat banget sih? Kenapa...

Minggu lalu, saat Om Afif bilang kalau dia ketemu seorang perempuan, dan dia tertarik, aku nggak apa-apa. Biarpun, rasanya aku bener-bener nggak terima. Aku tahu, perasaan aku sama dia udah nggak normal.

Tapi aku berpikir, selama dia tetep ada di sini, aku bakal baik-baik aja. Biarpun dia suka perempuan lain, aku bakal baik-baik aja. Tapi ternyata nggak. Karena sekarang, Om Adiguna mutusin untuk pergi ke Lombok.

Terus... Aku gimana? Aku harus gimana?

"Ty?"

Aku diam, nggak menjawab, atau menendang pintu lagi. Aku rasa tenaga habis. Terkuras oleh emosi. Jadi yang kulakukan hanya memejamkan mataku... Dan mulai menangis.

Memang sih drama banget. Mungkin aku terlalu membesar-besarkan masalah sederhana. Tapi mungkin sederhana untuk orang lain, tapi buatku ini bukan hal sederhana.

Sudahlah... Kalian atau Om Afif sekalipun, nggak akan mengerti.

"Ty, jangan kekanakan begini. Kita bicara baik-baik, layaknya dua orang beradab. Bukan mengedepankan emosi begini. Saya benar-benar tidak paham, kenapa kamu tiba-tiba begini, ngamuk kayak orang kesetanan."

Apa? Beradab? Kesetanan? Jadi, aku yang kesetanan ini nggak beradab? Oke! Emosi aku naik ke tingkat maksimal. Murka aja nggak cukup untuk menggambarkannya.

"Astagfirullah, Ty!"

Om Afif agak terkejut saat aku membuka pintu kamarku secara tiba-tiba, dan suara debaman keras terdengar saat daun pintu bertemu dengan dinding.

"Om mau pembicaraan yang beradab? Oke, ayo kita bicara." napasku tersengal karena emosi. "Tapi apa semua yang akan Ai ucapin nanti bakal berpengaruh sama keputusan Om, untuk pergi?"

"Kenapa nggak jawab?" ucapku saat Om Afif hanya diam. "Ai bener kan? Keputusan Om udah bulet, apapun yang Ai omong nanti, pasti bakal berusaha Om patahin. Om bakal tetap pergi, Om nggak akan pikir-pikir lagi."

"Emang di sini kenapa sih? Kerjaan Om di sini juga baik 'kan? Kenapa harus jauh-jauh ke Lombok sana? Kenapa harus pergi? Kenapa... Kenapa harus ninggalin Ai?"

Aku putus asa, bahkan suaraku merefleksikan rasa putus asaku dengan sangat baik.

"Ty... "

"Jangan," tanganku menggapai ujung kemeja hitam yang Om Afif pakai, kepalaku tertunduk.

"Jangan pergi, Om." kataku. Dan bersamaan dengan ucapan tersebut, aku mulai menangis.

Mungkin aku terlalu egois dan kekanakan, juga tidak mau mengerti. Namun percayalah... Aku hanya nggak mau ditinggalkan.

Aku selalu berpikir, biarpun semua orang meninggalkan aku, Om Afif bakal tetap ada bersama aku.

Tapi ternyata memang nggak semua hal bisa sesuai dengan apa yang aku pikir.

===

Hai, apa kabar kalian yang kucinta? Apa kalian masih nunggu Si Om dan si Labil Aira, ini? Aku harap masih ya. :)

Maaf pendek aja,  padahal sudah 5 bulan nggak apdet. Aku mohon pengertian ya, ada banyak hal yang menyita waktu aku. Biarpun aku suka nulis,  dan cinta sama semua karakter buatanku di sini, tetap aja ada faktor-faktor yang buat aku harus mengesampingkan menulis. Jadi... Aku benar-benar minta maaf.  *bow* *bow lagi*

Nah, terus aku juga nggak tau kenapa buat part begini. Karena sejujurnya ini luapan emosi aku sama seseorang(?).

Hm... Boleh aku minta pemikiran kalian? Yah, semacam itulah. Begini, kalau ada seseorang macam Om Afif dalam kehidupan kalian, kalian bakal gimana?

Dia suka perempuan lain, dan dia mau pergi. Dan kalian bukan siapa-siapa. Gimana? Kalian akan gimana?

Ini aku hanya minta pemekaran yaaaaa xD

Oke, maaf aku malah curcol panjang-lebar xD
Oh iya, maaf juga buat komentar.dipart sebelumnya  yang belum aku balas.  Tapi serius deh aku baca, karena baca komentar kalian lho makanya aku lanjut. hihi.

Sabar nunggu lagi ya, part depan Insya Allah POV-nya Om Afif. haha.

Bye.

Aku cinta kalian, :*

Hana Akuma.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now