Thanks.

10.8K 561 2
                                    

Yo! Hai~ Om Afif dan Aira balik. Maaf atas ketidakapdetannya ya. Ah, aku sedang malas berkata-kata. Silakan membaca saja ya? Hepi riding gays. #plak cintaaaa kaliaaan~

.

.

.

.

Setiap kenangan, memang akan selalu hidup dalam benak masing-masing orang. Seperti kenangan tentang Ayah yang gak akan terhapus dari ingatanku, akan terus hidup sampai aku tidak mampu lagi mengingat.

Rindu, aku rindu Ayah. Ini udah seminggu berlalu setelah kepergian Ayah. Tapi rasanya... Aku masih juga belum bisa terima, masih terus merasa bahwa Ayah, masih tetap ada di dunia ini. Aku tidak salah, Ayah memang masih ada di dunia ini.

Hanya saja... Di tempat yang berbeda. Dan hanya hidup dalam ingatank, Mama dan orang-orang yang menyayanginya.

Mama menolak untuk kembali tinggal di Jakarta bersamaku. Mama lebih memilih untuk tetap tinggal di Bandung. Karena  Mama bilang, di Jakarta, tepatnya rumah kami, terlalu banyak kenangan tentang Ayah, tentang kebersamaan kami dan sejarah Mama dan Ayah. Jadi Mama menolak untuk kemali ke Jakarta. Katanya, agar tidak terus larut dan meratapi kepergian Ayah.

Mama memang benar, terlalu banyak kenangan tentang Ayah di rumah kami. Dan itu sangat berdampak untukku meratap. Padahal, kita ngga boleh meratapi seseorang yang telah pergi.

Aku menarik napasku, membenamkan kepalaku pada lututku yang kutekuk. Angin berhembus kencang, membelai kepalaku dan membuat rambutku acak-acakan. Aku masih membenamkan kepalaku, saat kurasakan sebuah tepukan pelan di kepalaku, bersamaan dengan suara familier yang menyebut namaku.

"Ty, pulang." ucap suara itu lagi. Om Afif. Aku mendongak, menatap Om Afif yang berdiri menjulang dihadapanku.

"Om..." panggilku. Entah kenapa, yang kurasakan saat melihat Om Afif, malah dorongan kuat untuk menangis.

Om Afif menatapku sebentar dengan wajah datar, sebelum akhirnya ia ikut duduk bersamaku di teras kelas. Ya, teras kelaku. Ini sudah sore, dan aku masih memilih berada di sekolah yang sudah terlihat sepi. Jadi tidak aneh kalau Om Afif datang ke sini, menjemputku.

"Masih meratap?" tanya Om Afif, pandangannya lurus ke depan. Aku tertawa sumbang, mendongakan kepalaku, menahan airmata yang sudah berusaha merembasi mataku.

"Saya juga pernah mengalami ini. Tapi saya tidak meratap berlarut-larut." Om Afif menarik napasnya, ia membuka kancing lengan kemeja biru donkernya, dan menggulung lengannya hingga siku. "Bukan karena saya seorang pria, makanya saya tidak meratap. Tapi saya tidak meratap, karena memang tidak ada yang harus diratapi." lanjut Om Afif.

Tidak ada yang perlu diratapi?

"Tidak ada yang perlu diratapi? Hebat." ucapku sarkastik.

"Bukan hebat, tapi seharusnya kamu mengerti. Bahwa meninggalnya Ayah kamu, itu adalah hal terbaik yang telah Allah tentukan. Ia tidak membiarkan Ayah kamu menderita terlalu lama karena penyakitnya, makanya Allah cabut nyawana.

"Lagi pula, memangnya  atas dasar apa kamu meratap? Merasa banyak salah? Belum siap ditinggalkan? Jika merasa banyak salah, berdoa, memohon ampun pada Allah, semoga Ayah kamu meninggal dalam keadaan ridho terhadap kamu. Jika karena belum siap ditingalkan, siapapun tidak akan pernah merasa siap ditinggal meningal. Jadi atas dasar apa kamu meratap? Percuma, kamu meratap sampai puluhan tahun pun, Ayah kamu tidak akan kembali hidup lagi." ujar Om Afif.

Aku terdiam, menundukan kepalaku. Mencerna setiap hal yang dikatakan oleh Om Afif barusan. Dan yang bodohnya, aku malah semakin merasakan dorongan kuat  untuk menangis.

Aku mengangkat telapak tanganku, menutup wajahku dan mulai menangis. Sesak... Samasekali bukan hal yang menyenangkan.

"Saat ini, menangislah sampai puas. Tapi setelah itu, kamu harus bangkit. Ayah kamu gak akan mudah jalannya kalau kamu belum ikhlas begini."

Aku mengangguk disela-sela isakanku. Mengiyakan perkatan Om Afif.

Ya, biarkan hari ini hari terakhirku untuk menangisi Ayah sampai puas. Tapi setelah ini, aku harus bisa bangkit, bersikap seperti biasa. Dan menjadi Aira yang berisik.

Kurasakan sebuah lengan melingkari pundakku, menarikku mendekat. Om Afif menepuk-nepuk punggungku lembut dan sesekali mengusap kepalaku yang bersandar di dadanya.

Nyaman. Om Afif memang selalu menjadi tempat ternyaman untukku akhir-akhir ini.

Om... Terima kasih.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now