Bahagia Ratusan Kuadrat

10.7K 631 29
                                    

Judulnya memang random banget. hahaha

Tapi aku harap part ini lebih panjang dari part yang sebelum-sebelumnya, agar kalian bahagia. xD

Ini POV Aira ya, takut gagak kalo buat POV Om Afif lagi. haha

Oke, anggap aja aku kesambet apdet seekspres ini, biarpun kegiatanku padet kayak pelabuhan merak dan kerjaanku kayak tumpukan salju. #plok

Selamat membaca ya dan jangan lupa sarapan. ^^

===

Aku keluar dari kamarku, berjalan pelan ke arah kamar Om Afif dan berdiri diam di depan pintu kamarnya selama beberapa menit. Sejak malam pertama Om Afif pergi, aku mulai merindukan suara derit pintu kamar di hadapanku ini, terbuka.

Atau lebih tepatnya, aku merindukan sosok yang akan keluar dari dalam kamar ini, jika pintunya mengayun terbuka. Sejak saat itu, aku selalu seperti ini, berdiri diam di depan kamar Om Afif selama beberapa menit, sampai kemudian aku sadar, kalau itu samasekali tidak ada gunanya. Selama apapun aku berdiri di depan pintu ini, tidak akan ada sosok Om Afif yang keluar dari dalam sana.

Mungkin, malam ini yang terparah. Aku tetap berdiri di depan pintu kamar Om Afif meski kesadaran kalau ini tidak berguna, telah menghampiriku. Saat aku merasa kedua kakiku kebas karena sudah lumayan lama berdiri, aku memutuskan untuk duduk di lantai, menyandarkan punggungku pada daun pintu kamar Om Afif dengan kedua lutut yang tertekuk. Aku benar-benar ingin mengasihani diriku sendiri, ketika kedua tanganku kugerakan untuk memeluk kedua kakiku.

Aku kangen. Kangen Om Afif yang irit bicara, tapi selalu ada. Aku kangen Om Afif yang biarpun protes ketika aku berisik, tapi tetep duduk nemenin aku yang selalu banyak bicara.

Aku kangen. Aku kangen. Aku kangen.

Ini sudah tiga bulan, sejak hari Om Afif pergi. Sudah selama itu pula kamar de sebelah kamarku kosong nggak berpenghuni, rumah jadi makin senyap. Aku yang jadi jarang ngomong karena nggak ada lawan bicara selain bi Inah yang sesekali nemenin aku, atau Mamah yang sesekali telepon aku.

Sekarang di rumah ini cuma ada aku dan bi Inah, Mama masih belum mau kembali ke rumah ini. Malahan Mamah lebih milih nunggu aku yang sudah kelas 3 SMA lulus sekolah, dan pindah ke Bandung buat nemenin Mamah.

Sekali lagi, aku nggak tau apa yang ada di otak Om Afif sampai dia itu tega ninggalin aku demi kerjaannya. Bahkan dia nggak pernah muncul, biarpun cuma sekedar satu huruf di WA-pun nggak. Nomornya nggak aktif, bahkan akun jejaring sosialnya aku rasa bulukan karena nggak pernah ada aktivitas.

Can I Love You, Uncle?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang