Awal Cerita

39.5K 983 13
                                    

"Ma... Bener mau pindah ke Bandung?" aku bertanya lesu pada Mama yang sedang sibuk mengepak baju-bajunya dan baju-baju Ayah ke dalam koper.

"Iya, sayang." jawab Mama sambil lalu, ia bolak-balik dari lemari ke tempat tidur, mengambil baju dan menatanya di koper. Aku menghembuskan napas pasrah.

"Padahal 'kan, Ai udah minta jangan, Ma." ucapku lemas, sambil tetap memperhatikan Mama dari atas tempat tidurnya. Mama berhenti mondar-mandir dan duduk di sebelahku.

"Ai, Mama juga udah jelasin 'kan kenapa Mama sama Ayah mutusin buat pindah ke Bandung?" ujar Mama. Iya tau, karena rumah yang di sana lebih nyaman 'kan? Udaranya lebih bagus 'kan? Dan karena kalian pengen ngabisin masa tua di sana aja 'kan? Ya ampun, cuma itu aja sebenarnya alasan Mama sama Ayah.

"Iya, iya." jawabku akhirnya.

"Tadinya mama sempet berpikir ngajak kamu juga buat pindah ke Bandung, tapi kalo kamu ikut pindah 'kan sayang, berarti kamu harus pindah sekolah juga. Kamu udah kelas dua, jadi tanggung dong kalo pindah."

"Iya, Mama juga udah jelasin itu ke Ai." kataku. Mama tersenyum, kemudian mengacak rambutku pelan.

"Lagi pula kamu 'kan gak sendirian di sini, ada Om Afif sama bi Inah." aku mengangguk mendengar perkataan Mama. Emangnya aku mau jawab apa lagi? Dari tadi 'kan udah jawab iya, iya aja.

Aku ini anak tunggal dikeluarga Januarta ini, biasanya anak tunggal itu jadi kesayangan 'kan? Tapi aku nggak. Aku diajar harus mandiri, gak boleh manja dan segala macam. Jadi, ya mungkin ini yang membuat Mama dan Ayah berpikir gak apa-apa kalau aku hidup terpisah dari mereka.

Siapa Om Afif? Ah ya ampun. Inget dia kok pipi aku jadi panas ya? Dia itu sebenernya belum beneran Om-Om si, orang usianya baru genap 23 tanggal 9 Agustus kemarin, tapi karena dia adiknya Mama, jadi ya aku harus panggil dia Om. Mama itu anak paling tua dikeluarganya, setelah Mama ada tante Sani dan tante Lidya. Nah Om Afif itu anak paling bungsu setelah tante Lidya.

Tante Sani dan tante Lidya itu sudah menikah dan punya dua orang anak, yang udah pada kuliah semester awal. Cuma Om Afif yang belum nikah. Dan soal kenapa anaknya adik-adik Mama kenapa lebih tua daripada aku, itu karena Mama baru punya aku saat usia Mama 27tahun, sedangkan adik-adik Mama melahirkan saat usia 25tahun, tau deh gak ngerti juga gimana ceritanya anak tante Sani sama anak tante Lidya bisa hampir sama begitu. Yang jelas yang anak tunggal cuma aku.

Udah ah, aku berasa kaya lagi cerita silsilah keluarga besar aku sama kalian. Harusnya aku cukup bilang aja ya, kalau usia Mama sama Ayah saat ini 43tahun dan 53tahun. Yup! Mama dan Ayah berbeda usia 10tahun, dan usia 53tahun buat Ayah sudah cukup tua, makanya alasan mereka buat pindah ke Bandung, menghabiskan masa tua di sana. Oke stop, stop. Aku gak mau bikin kalian bosan lebih lama karena aku terus nyerocos soal keluargaku ini.

"Ty?" suara berat yang akhir-akhir ini menjadi familier untukku, terdengar.

Aku mendongak, melihat pada Om Afif yang berdiri di hadapanku yang tengah duduk di sofa sambil menonton tv, aku baru sadar kalau aku sudah tidak di kamar Mama lagi.

"Apa Om?" sahutku. Om Afif tidak menjawab, ia malah mengambil tempat duduk di sebelahku.

"Kamu nonton tv dipelototin doang, tapi mata kosong. Ngelamun aja." ucap Om Afif, pandangannya lurus ke tv. Aku cuma nyengir, jujur ya, kalo deket Om Afif aku bisa tiba-tiba kehilangan kemampuan bicaraku, biarpun lebih seringnya sih aku jadi cerewet, banyak omong sama Om Afif.

Om Afif itu baru tinggal di rumahku selama dua minggu ini, dia baru datang dari Jogja. Aku heran dia kerja kok jauh-jauh banget ke Jogja, padahal di Jakarta ini 'kan banyak kerjaan, apalagi buat orang yang otaknya hampir genius kaya dia, eh apa dia genius ya? Ah tau deh, aku taunya dia kelewat pinter aja.

Dan waktu Mama bilang adiknya mau pindah ke rumah ini, aku gak berpikir kalau adik Mama seganteng dan masih cukup muda begini. Wajar dong aku gak tau gimana Om Afif, orang kata Mama aku terakhir ketemu sama Om Afif pas usiaku 5tahun.

"Ty? Ngelamun lagi?" suara Om Afif kembali terdengar. Aku mengerjap. Ampuuun... Jadi dari tadi aku ngelamun sambil ngeliatin muka Om Afif, begini? Astagfirullah.

Aku mengalihkan pandanganku. "Tau deh Om, aku tiba-tiba kehilangan orientasi." ucapku asal. Aduh, kenapa malah jawabnya gitu.

Aku melihat Om Afif sedikit tersenyum dari ekor mataku, benar-benar hanya sedikit. Ia hanya menarik sedikit ujung-ujung bibirnya. Kadang, melihat Om Afif tersenyum itu hal langka, dia bicarapun irit, kalau ditanya jawab seadanya. Sikapnya juga dingin, dan cuek. Tapi kalau bicara kadang sadis, nyelekit gitu.

Om Afif itu tinggi, kulitnya kuning langsat, bersih. Rambutnya hitam, matanya cokelat tua, hidungnya mancung untuk ukuran orang Indonesia dan bibirnya berwarna merah muda. Dia pakai kacamata, oh tapi please jangan bayangin kacamata orang culun. Karena dia jauh dari kata culun. Yang aku suka adalah, dia bukan perokok, ibadahnya bagus. Dia calon imam yang bisa dibilang menjanjikan. Yeah, ampuni aku yang sekali lagi membuat kalian bosan dengan ocehanku.

"Ty, kamu apa sih yang dilamunin?" aku menggigit bibirku. Jadi aku ngelamun lagi ya?

"Ngga ada apa-apa si, cuma kadang suka tau-tau ngelamun aja." jawabku sekenanya. Abis masa iya aku bilang aku ngelamunin dia.

"Jangan sering-sering begitu, apalagi kalo di tempat umum." aku bergumam mengiyakan mendengar perkataan Om Afif. Tumben dia banya ngomong.

"Om, gak panggil aku Ai atau Aira aja?" tanyaku tiba-tiba. Abis aku bingung si, semua orang kalau manggil aku pasti Ai atau Aira. Cuma Om Afif yang manggil aku Ty. Ty itu dari nama tengahku, Risty.

"Kenapa? Ada masalah saya panggil kamu, Ty?" tanyanya balik. Tuh ampun, setiap ngomong pasti pakenya 'saya'.

"Nggak si, cuma bingung aja. Soalnya biasanya aku 'kan dipanggilnya Ai atau Aira, Om."

"Saya gak suka manggil kamu kaya gitu. Atau kamu mau saya panggil Air?" aku menoleh cepat. Mencebikan bibirku, kemudian bangkit berdiri.

"Ya udah deh, Ty lebih bagus." ucapku, sebelum akhirnya pamit untuk ke kamar. Masa bodoh deh sama acara tv-nya, toh dari tadi pun aku gak benar-benar nonton tv.

Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur, memandang langit-langit kamarku. Aku mulai sibuk berpikir banyak hal.

Besok Mama dan Ayah berangkat ke Bandung. Itu artinya, besok aku bakal benar-benar mulai hanya bertiga di rumah ini. Aku, Om Afif dan Bi Inah. Aku bukannya takut kelaparan atau takut cape ngurus rumah, 'kan ada Bi Inah yang ngerjain semuanya.

Tapi, yang jadi pikiran aku adalah, gimana kehidupan aku selanjutnya sama Om Afif? Karena aku, bukan peramal yang tau bagaimana kedepannya.

=================================

Hallo~~~^^

Okeh, aku nulis cerita baru di saat cerita aku yang pertama belum selesai. Hehe, gak apa-apa dong yah.~

Hm, cerita ini sebenernya aku gak tau bakal gimana, karena aku cuma kebayang tengah-tengah dan akhir dari cerita ini. Entahlah, aku ini orangnya bosenan. Hehe.

Jadi maap yaa.~

Oke, tolong tinggalkan komen dan vote. Budayakan beramal(?) komen dan vote. XD

Thankseeuuuu.~

Salam sayang penuh cintaH, Dandelion. ^^

Can I Love You, Uncle?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora