Cerita Setelah Akad [B O N U S]

4.8K 224 15
                                    

Bagian ini, aku dedikasikan untuk MeyDu_ sebagai hadiah ulangtahun yang amat sangat terlambat. ^^

"Aa!" ini panggilanku yang ketiga, setelah panggilan pertama dan kedua nggak berhasil bikin wujud Om Afif muncul dari balik pintu kamar. Dan syukur ya Allah, kali ini lelaki yang sudah menyandang status sebagai suamiku selama kurang lebih dua bulan, muncul juga. Lenkap dengan setelan kerja berwarna biru yang lengannya belum dikancing rapi. Dia melewatiku setelah mencium dahiku singkat. Pipiku memanas. Aduh. Itu adalah salah satu kebiasaan baru Om Afif setelah kami menikah.

"Aku mulai kelas jam setengah Sembilan loh, A." Cecarku langsung begitu Om Afif duduk di kursi meja makan. Bi Inah membawakan sepiring roti tawar yang belum di beri selai dan menaruhnya di atas meja makan, sedangkan aku menaruh secangkir teh hangat di hadapan Om Afif.

"Ini baru setengah tujuh."

"Tapi nanti telat, ih!"

Aku serius takut terlambat, tapi Om Afif malah terkekeh kecil. Tangannya menarik kursi yang kududuki untuk lebih mendekat padanya sebelum mengulurkan lengan kemeja panjangnya yang belum terkancing.

"Aku serius loh, A. Jakarta itu macet." Ujarku sambil mengancingi lengan kemejanya secara bergantian, dan memastikan sekali lagi kalau setelan kerjanya sudah benar-benar rapi.

"Tidak semacet dulu. Lagian kampus kamu tidak terlalu jauh. Jangan paranoid tidak jelas." Dikatakan dengan nada lembut, namun mengusik ketenangan hati. Duh suamiku, kalau nggak pernah menghabiskan waktu hidup bersama sebelum menikah, mungkin aku bakal sering sakit hati dengan cara bicaranya yang kadang menusuk kalbu.

Memilih untuk nggak menaggapi, aku mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai kacang dan kuberikan pada Om Afif. Berganti status dari keponakan menjadi istri, ternyata berpengaruh terhadap banyak hal. Kupikir menikah dengan Om Afif nggak akan banyak merubah hidupku, karena toh kami suda tinggal dalam satu rumah dan terbiasa menghabiskan waktu sehari-hari bersama sebelumnya.

Tapi ternyata, status keponakan dan istri jelas saja ada banyak perbedaan. Aku juga harus menyesuaikan diri dengan kewajiban baru mengurusi segala sesuatu Om Afif. Untung saja suamiku ini bukan tipe suami yang ribet dan banyak mau. Om Afif terbilang legowo untuk banyak hal. Mungkin karena dia sudah tahu bagaimana istrinya ini, yang dulu berstatus keponakannya.

Sejak satu bulan menikah, aku sudah mulai masuk kuliah di Universitas pindahan yang Om Afif pilihkan. Awalnya agak malas karena kupikir harus bersusah payah beradaptasi lagi. Tapi ternyata nggak. Aku semakin nggak terlalu peduli dengan kehidupan sosialku. Fokusku hanya kuliah, mendengarkan materi, lalu pulang. Karena dengan kembali ke rumah, ada banyak hal menyenangkan yang bisa kudapatkan, ketimbang hangout menghabiskan waktu di luar rumah untuk nongkrong dengan teman-teman.

"Kamu tidak dengar ya saya ngomong apa?"

"Ha?" aku bingung. Nggak sadar kalau ternyata dari tadi Om Afif mengajakku bicara. Kalimatnya dan tangannya yang mengusap lembut pipiku lah yang menyadarkan.

"Mikirin apa?"

Nggak mungkin sih aku jujur bilang apa yang tadi kupikirkan, malu lah. "Nggak ada." Jawabku akhirnya, dusta seratus persen.

"Hm."

Hanya itu respon Om Afif, lalu suamiku itu meneguk teh hangatnya. Kalau kalian pikir setelah menikah Om Afif jadi banyak bicara, kayaknya kalian berekspektasi terlalu tinggi. Om Afif masih irit bicara dan seringkali menyebalkan. Hobinya menggangguku seperti semakin naik drastis. Tapi ... kadang aku masih suka nggak percaya sendiri, kalau sekarang Om Afif sudah benar-benar jadi suamiku. Baik banget Allah sama aku tuh.

Can I Love You, Uncle?Место, где живут истории. Откройте их для себя