We are Back Together

8.1K 490 52
                                    

Aku merasa kepalaku berat sekali. Rasanya sejak semalam tidurku nggak nyaman, berkali-kali bangun dan berpikir waktu bergerak lambat. Tiba-tiba saja suhu tubuhku naik, aku demam tinggi dan merasa kepayahan sendiri.

Tapi kali ini, saat aku membuka mataku untuk yang kesekian kali ... rasanya ada yang beda. Aku merasa sejuk di dahiku, membuat tangaku terangkat untuk tau apa yang berada di atas dahiku.

Handuk basah.

Mataku langsung benar-benar terbuka lebar, biarpun pandanganku masih agak buram. Pusing di kepalaku juga belum sepenuhnya hilang. Tapi penasaran. Rasanya semalam aku nggak mengompres diriku sendiri, tapi nggak mungkin juga ini Fitri. Soalnya Fitri jarang banget datang kalau nggak ada kepentingan.

"Sudah bangun?"

Aku membeku. Jantungku rasanya berhenti berdetak buat sepersekian detik. Suara yang kudengar mungkin halusinasi karena demam yang kualami. Tapi ini kok kayaknya nyata banget?

Aku mendongak, mencari keberadaan sumber suara dan menemukan apa yang nggak pernah berani kuduga. Gila nih kayaknya aku, karena merasa halusinasiku nyata banget.
Om Afif berdiri di samping ranjang, dengan pandangan cemas yang nggak ditutup-tutupi.

"Kenapa melihat saya begitu?"

Nggak. Nggak. Ini cuma halusinasi saja. Bohong. Om Afif nggak mungkin sih ada di sini. Ngarang saja.

Aku merubah posisi, membelakangi sosok yang kupikir Om Afif dengan harapan aku berhenti berhalusinasi. Sakit banget kan, sampai aku berpikir setingkat lebih rendah dari kenyataan kalau aku ini nyaris gila gara-gara kangen Om Afif.

Menyedihkan banget memang. Tapi ya mau gimana, aku yang memutuskan dari awal buat memelihara kebodohan ini. Halah.

"Makan dulu. Buburnya keburu dingin, makin nggak suka nanti kamu."

Aku merasakan sentuhan ringan di pundakku, sedikit menarik pundakku agar kembali berbalik. Aku kebingungan sendiri, halusinasi yang terasa nyata sekali dan nggak tahu ini sungguhan atau memang cuma halusinasi.

Tapi saat ada satu tangan lagi yang menelusuk ke belakang leherku dan memaksaku bangkit meski dengan hati-hati, membuatku kembali merasakan sakit kepala yang hebat karena dipaksa bangkit.

"Ih!" keluhku benar-benar kesal. Nggak tahu kan pusingnya kayak apa? Tega!

"Maaf." Ucap suara yang kuhapal sebagai milik Om Afif. Setelah itu kurasakan usapan lembut di kepalaku yang dibawa menyender pada dada yang terasa hangat.

Mataku memanas. Aku yakin sekali ini nggak ada hubungannya dengan demam atau sakit kepalaku. Ini karena aku benar-benar siap untuk menangis, ketika pemahamanku sampai pada kewarasan dan berhasil mencerna bahwa ini semua nyata.

Lelaki menyebalkan ini bukan sekadar halusinasi.

Alih-alih menjauh, aku justru semakin menempel pada Om Afif. Mengubur wajahku di dadanya, dan mulai menangis. Tanganku terangkat, mencengkram kemeja bagian depan yang dipakainya sebagai refleksi dari betapa frustasinya diriku.

Akhirnya dia datang. Akhirnya ... dia mencariku yang berusaha lari. Akhirnya ... dia menemukanku yang memilih kabur.

"Jangan nangis, nanti kepalanya semakin sakit." Ujar Om Afif, tapi tangannya justru memelukku semakin erat. Memberikanku rasa aman dan nyaman yang familiar.

"Ng-ngapain?" aku berusaha bicara di sela-sela isakan. "Ngapain Om ke sini?" lanjutku masih dengan terpotong oleh isakan menyedihkan.

"Menemui anak kecil yang sok-sokan kabur."

"Ih!"

Tawa Om Afif terdengar, hal yang masih saja terasa langka untuk didapat. Dan samar-samar ... Aku bisa mendengar getar dalam tawanya.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now