Bad News.

13K 634 13
                                    

"Ty..."

"Hm..."

Aku mengerutkan dahiku, fokusku masih pada layar laptop di hadapanku. Ah, paling Om Afif bosen gara-gara dari tadi aku cuma fokus sama duniaku sendiri. Duh, maaf ya, Om. Hari ini aku lagi libur gangguin situ. Heu.

"Ty?"

"Hm."

Deuh, udah lima kali aja Om Afif manggil aku tanpa ngomong apapun setelah itu. Apa deh, aku diem gini dia yang rese. Aku berisik, dia bilang ribet. Ah iya, sekedar info, aku udah sehat. Kaki udah gak sakit sedikitpun, ya iya lah, orang udah dua minggu lebih.

"Ty."

"Astagfirullah, apa Om, apa? Sekali lagi Om manggil tapi gak ngomong apa-apa, aku kasih piring."

"Ty. Nah, piringnya mana?"

Aku menoleh pada Om Afif, mendelik sambil mendesis kesal. Maunya apa cobaaa?

"Ambil sana di dapur." kataku ketus. Setelah itu kembali sibuk dengan duniaku sendiri lagi.

"Gak butuh juga." ucap Om Afif. Kemudian ia melanjutkan. "Ty, kamu tau gak puisi Tentang Seseorang?" pertanyaan Om Afif sukses membuatku kembali menoleh padanya.

Aku mengangkat sebelah alisku. "Tau. Kenapa? Kok Om jadi tetiba puitis gitu sih?" tanyaku masih dengan sebelah alis yang menaik. Kadang, Om Afif suka aneh. Ah, atau dia emang selalu aneh? Tapi intinya sama, dia aneh.

"Enak saja." ia sukses mendorong jidatku dengan satu jarinya. Aku berdecak kesal, aku paling gak suka deh ada orang yang nyentuh bagian kepalaku, aku pasti bakal marah alay. Tapi, kenapa aku gak semarah biasanya, sama Om Afif?

"Ya terus kenapa dong? Gak mungkinkan tiba-tiba Om jadi alayers yang galauan." kali ini aku sedikit mengambil jarak, biar gak kena toyor lagi, udah sering soalnya. Dan ruang tengah ini jadi saksi bisu seberapa sering aku kena toyor sama Om Afif.

"Saya cuma pengen tau. Coba bacain." jawab Om Afif dengan santainya. Bisa ya, nyuruh orang pake muka ngeselin minta distempel begitu. Hih.

Aku menarik napasku, sambil nginget-nginget juga sih kata-kata puisi itu. Ini puisi jadul doh.

"Aku bosan, aku ingin ramai.

Pecahkan saja gelasnya, biar mengaduh sampai gaduh.

Ada malaikat menyulam jaring laba-laba, di tembok belang keraton putih.

Kenapa tidak pukul saja loncengnya, biar terdera.

Apa aku harus lari ke hutan, belok ke pantai?" aku berhenti, menarik napasku. Karena bait selanjutnya, harus dinyanyikan.

"Bosan aku dengan penat.

Dan enyah saja kau pekat...."

"Oke."

"Apanya yang oke? Gak jelas banget sih, Om."

"Oke ancurnya. Kamu bacain itu puisi nggak dari awal, gak lengkap dan salah. Pas di bagian nyanyinya suara kamu bagus," mataku menyipit. Biar gimanapun, Om Afif itu bukan tipe pemuji. "Tapi lebih bagus lagi kalo kamu diem." nah 'kan. Untung udah pasang baja, jadi gak berlubang ini hati denger omongannya.

"Sok tau. Mending Ai, tau itu puisi, bisa baca pula. Daripada Om?"

"Saya tau."

"Bah. Modus."

"Ini." Om Afif menunjukan layar tabnya padaku. Aku menendang kaki Om Afif kesal, sukurin. Om Afif menatap jengkel padaku, yang kubalas dengan wajah tanpa dosa.

"Gak sopan."

"Bodo."

Baru saja Om Afif membuka mulutnya untuk membalas, suara lagu Moon Of The Princess dari handphoneku mengintrupsi apapun itu yang pengen Om Afif keluarin dari mulut sadisnya.

Aku menyeringai puas, kemudian melirik handphoneku yang terletak di atas meja samping laptop.

Mama Calling....

Mama? Lagi-lagi aku mengernyit, dan mengambil handponeku, kemudian mendekatkannya pada telinga setelah menyentuh icon jawab.

"Assalamu'alaikum, Ma?" jantungku seketika berdetak lebih cepat saat yang kudengar adalah suara isakan. Ketakutan merambatiku. Ada apa?

"Ma? Hallo, Mama?" aku kembali memanggil Mama yang masih gak ngejawab salamku. Om Afif menghentikan kegiatannya. Ia menaruh tabnya ke atas meja, dan menatapku dengan khawatir.

"Aira..." aku diam. Menunggu apa yang akan Mama katakan selanjutnya. "Ayah... Masuk rumah sakit. Jantungnya kambuh, sekarang di ruang ICU. Ayah kritis." aku membeku. Jantungku mencelos, aku merasa seperti baru saja ada petir yang menyambarku.

"Aira?" suara Mama kembali terdengar. Aku gak bisa ngeluarin suaraku, pikiranku kacau. Tiba-tiba Om Afif mengambil handphone dari genggamanku.

"Hallo, Teh? Iya, ini Afif... Iya, iya. Oke, iya Afif ngerti. Ya, wa'alaikumsalam." entah apa yang Om Afif bicarain sama Mama. Aku persis orang linglung.

"Om... Ayah..."

"Kamu tenang, insya Allah gak apa-apa." ucap Om Afif meyakinkan.

Aku menatap Om Afif, wajahnya tampak khawatir, terlebih saat aku mulai menangis. Ia memegang kedua bahuku.

"Kita ke Bandung, sekarang." ucapnya. Ia menatapku sebentar sebelum akhirnya bangkit berdiri, masuk ke kamarku dan keluar lagi dengan jaket abu-abuku.

"Bi Inah, Bi!" yang dipanggil segera datang dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa toh, mas?"

"Saya sama Aira harus ke Bandung sekarang, Bibi jaga rumah ya?"

"Eh? Kenapa toh, mas?"

"Ayahnya Aira kritis."

"Eh walah, bapak... Nggeh mas, nggeh, saya yang jaga rumah."

"Oke, kalo gitu kita pamit."

"Iya, iya. Hati-hati, mas."

Semua berasa kaya orang hilir mudik, atau aku yang terlalu gak fokus?

"Ty?" Om Afif menatapku, ia membantuk memakai jaketku. Sedangkan ia sudah siap dengan jaket hitamnya.

"Insya Allah Ayah gak apa-apa, kamu jangan berenti do'a. Oke?" aku mengangguk. "Nah sekarang ayo, kita berngkat ke Bandung." ajak Om Afif. Ia berdiri, mengulurkan tangannya padaku.

Om Afif meraih tanganku saat aku gak juga membalas uluran tangannya. Ia membantuku berdiri.

Aku sadar dengan nyata, kalau ketenangan perlahan merambat saat tangan Om Afif ngegenggam tangan aku dengan kuat. Tapi rasa hampa seketika menyergap saat Om Afif ngelepasin genggaman kita untuk membuka pintu mobil.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now