A k a d

5.6K 261 30
                                    

Orang-orang bilang, kalau mau menikah itu, banyak berantemnya. Pasti ada aja hal-hal yang bikin bertengkar. Entah itu hal sepele, atau hal besar.

Jujur aja, aku sempat takut. Karena, aku dan Om Afif waktu belum ada rencana menikah aja sudah ribut melulu kerjaannya. Apalagi pas kita berencana untuk menikah? Aku takut ujiannya lebih berat dari pada menghadapi terik matahari di siang bolong, saat bulan ramadhan!

Aku sampai wanti-wanti sama Om Afif untuk nggak berulah yang bikin jiwa labilku kumat hingga titik maksimal. Dan hasilnya bukannya bisa diajak kerjasama, Om Afif justru menertawaiku dan bilang kalau aku ini percaya tahayul. Gitu memang kalau anak jaman old yang berusaha menjadi anak milenial. Sering lupain omongan orangtua jaman dulu jadinya.

Saat aku ngasih tau Mama kalau aku memutuskan untuk menikah dengan Om Afif, justru aku dan Om Afif lah yang dibuat terkejut oleh Mama. Beliau sudah menyiapkan list apa saja yang harus disiapkan, mengeluarkan nomor-nomor yang harus dihubungi untuk memesan segalanya.

Aku merasa kecewa, karena ternyata Mama nggak terkejut sama sekali. Padahal aku sudah menyiapkan mental untuk berargumen dengan Mama, kalau-kalau Mama menyarankan untukku menunggu hingga lulus kuliah.

Saat aku tanya alasan kenapa Mama mudah sekali setuju, jawaban Mama cukup membuat jengkel. Beliau bilang, nggak bersedia menonton drama alay part dua dimana si tokoh perempuan sok tegar memilih pergi tapi ujung-ujungnya ngarep dijemput pulang.

Aku nggak tau harus merasa marah, terharu, atau ngakak sampai nangis. Mamaku terlalu lawak, sampai aku nggak tau lagi harus bagaimana.

Setelah melalu banyak hal, mulai dari Mama yang nggak terkejut saat aku dan Om Afif bilang akan menikah, dan pertengkaran-pertengkaran kecil seperti soal bagusnya tenda resepsi kita warna apa, segalanya bisa diselesaikan tepat waktu.

Dan hari ini ... aku duduk sendiri di dalam kamar sambil meremas kedua tanganku karena terlalu gugup.

Hari ini datang!

Hari dimana aku, menikah dengan Om Afif. Jadi seperti ini rasanya, menunggu dengan jantung berdebar sampai rasanya mau pingsan, detik-detik calon suami menyebut ijab qobul.

Ya ampun ... rasanya perutku mules mendadak. Kalau nggak sayang dengan riasan, kayaknya aku sudah gelindingan di lantai saking gugupnya, sebab aku nggak tau gimana cara mengatasi kegugupanku ini.

"Duh, Allah. Ini nggak lagi halu kan, ya?" Aku mulai bicara sendiri, berusaha nggak terfokus dengan rasa gugupku. Tapi yang terjadi, aku semakin berdebar karena keyakinanku kalau ini kenyataan, malah semakin bertambah.

Halah, salah cara, gaes!

"Happy birthday, to you my dear." Aku berganti cara, memilih bernyanyi lagu yang asik menurutku. Tapi baru saja aku merasa sedikit tenang, mendadak suara gaduh di luar kamar tidak lagi terdengar. Suasana tiba-tiba saja hening, berganti suara penghulu yang menggunakan pengeras suara.

Aku menunduk, menatap kedua telapak tanganku yang memerah karena tidak berhenti kuremas sejak tadi. Aku mulai baper, saat suara penghulu menyebutkan akad nikah sebagai waliku.

Harusnya ... Ayah yang melakukan itu untukku, kalau saja beliau masih di sini.

Air mataku mulai menetes satu per satu.

"Saya terima, nikah dan kawinnya Aira Risty Januarta dengan mas kawin satu buah Al-Qur'an, dibayar tunai!"

Aku ... Tuli sesaat dari suara-suara yang ada. Aku seperti berpindah ke dimensi lain yang hampa, setelah ijab qobul selesai Om Afif lafalkan dan suara saksi yang mengucap "sah" menggema hingga ke dalam alam pikiranku.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now