Drama Kenyataan

10.4K 550 55
                                    

"Tapi bukan sekarang, Afif!"

"Lalu kapan, Teh? Teteh yang bilang kalau saya harus tegas. Teteh tidak terima cara pacaran."

"Iya, tapi bukan begini caranya!"

"Apa yang salah dengan saya melamar Risty?"

"Bukan masalah kamu melamar Aira, tapi masalah soal-"

"Teh, cepat atau lambat Risty memang harus tahu. Sampai kapan Teteh ingin menutupi semuanya dari Risty? Dia harus tahu bagaimana yang sebenarnya."

"Afif, Risty masih terlalu kecil. Kamu-"

"Kalau bukan dengan cara ini, lalu bagaimana lagi, Teh? Di telepon waktu itu, Teteh yang bilang kalau larangan hukum dan Agama tidak berlaku untuk saya dan Risty. Itu karena kita sama-sama tahu, kalau saya dan Risty, memang tidak memiliki hubungan darah apapun. Risty... Bukan puteri kandung Teteh, dan dia harus tahu itu."

"Afif!"

Aku menutup kedua telingaku, menyandarkan kepalaku pada kepala ranjang sambil memejamkan mata. Berharap apa yang kulakukan dapat meredam suara perdebatan Mama dan Om Afif di luar sana.

AKU menarik napasku dalam-dalam, berusaha mengenyahkan perasaan sakit yang menghimpit dadaku saat kenyataan menghantam hidupku dengan tiba-tiba.

Malam itu, malam seminggu lalu saat Om Afif mengatakan kalau cincin yang dia kasih adalah sebuah cincin lamaran darinya, semua menjadi jelas begitu aja.

Dimulai dari pertanyaanku tentang larangan seorang keponakan dan paman menikah, hingga akhirnya... Om Afif membeberkan kenyataan yang nggak pernah kubayangkan sebelumnya bahkan di mimpi paling burukku sekali pun.

Saat itu, aku berusaha mencerna segalanya. Dan saat aku merasa bahwa aku mampu untuk bertanya pada Mama, saat itu pula aku meminta Mama untuk berkunjung ke Jakarta.

Dan ternyata... Mendengar kenyataan yang sebenarnya dari Mama, lebih menyakitkan daripada mendengarnya dari oranglain.

Bagaimana bisa... Seorang wanita yang sudah merawatku sejak kecil, bukanlah merupakan Ibu kandungku?

Lalu, bagaimana bisa... Seorang lelaki yang saat ini hanya bisa kutangisi lewat doa, bukanlah Ayah kandungku?

Pada kenyataannya... Aku cuma seorang bayi yang kedua orangtuanya meninggal dan diadopsi dari panti asuhan.

Aku kira, cerita dramatis itu cuma berlaku untuk fiksi dan hal-hal nggak nyata lainnya. Tapi faktanya... Mungkin aku hidup dalam fiksi yang memiliki jenis jalan cerita seperti itu.

Aku menekuk kedua kakiku, menenggelamkan wajahku di atas lulut dan mulai kembali menarik napas dalam-dalam.

Seberat ini. Sesulit ini. Dan sesakit ini. Sampai-sampai, untuk bernapas saja menyiksa sekali.

Dan... Lagi, airmataku mulai keluar. Aku jadi heran sendiri, sesering apapun aku menangis airmataku tidak pernah habis.

Rasanya terlalu sakit.

Semua yang berjalan baik-baik aja, tiba-tiba harus berubah jadi drama.

Airmataku semakin menjadi, tapi rasa sakit di dadaku nggak berkurang sedikitpun.

Hidup kadang terlalu egois, menghantammu dengan hal-hal nggak terduga di saat kamu nggak memiliki persiapan apapun.

Takdir memang selalu lebih maju daripada alat tercanggih manapun.

Suara pintu kamarku yang dibuka, terdengar jelas oleh telingaku. Tapi aku nggak mau sedikitpun mengangkat wajah untuk melihat siapa yang datang.

Saat sentuhan ringan terasa di puncak kepalaku, aku langsung tau siapa yang datang.

Orang yang memberi semua kejelasan dari semuanya. Orang yang melamarku tanpa tedeng aling-aling. Dan orang yang nggak bisa kubenci, meski caranya ini terkesan egois.

Om Afif.

"Ty..."

Tanpa peringatan, kepalaku dipaksa menengadah. Buru-buru aku mengosongkan pandangan saat kedua tangan Om Afif yang masih menangkup sisi wajahku, memaksaku untuk menatapnya.

"Makan?" Tanyanya.

Aku menggeleng, dan langsung memundurkan kepalaku agar terlepas dari tangan Om Afif. Nggak ada cegahan yang Om Afif lakukan, malahan dia menarik kakiku yang masih ditekuk agar lurus.

"Sekalipun, kamu tidak pernah kelihatan cantik saat menangis."

Dasar nggak peka! Sudah tau orang lagi tersayat-sayat hatinya, malah segala dihina!

"Senyum?" Ujar Om Afif yang aku nggak tau, itu permintaan atau pertanyaan.

Kenapa bisa, Om Afif bersikap kayak gini, setelah keadaan menyebalkan saat ini adalah karena perbuatanya. Karena ulahnya. Karena Om Afif!

Eh?

Aku terkesiap, saat tangan hangat Om Afif mengusap bekas-bekas airmata di wajahku. Posisi Om Afif sekarang malah sudah duduk di tepi ranjangku.

Orang ini... Apa ada kemampuan membenciku yang bisa aku gunain untuknya?

"Saya tahu, di dalam kepala kamu itu, kamu menyalahkan saya untuk keadaan tidak menyenangkan yang sekarang ini terjadi."

Emang!

"Maaf. Saya tidak tahu lagi bagaimana caranya... Menjelaskan sama kamu tentang kenapa saya melamar kamu, padahal kita adalah Paman dan keponakan." Om Afif menarik napas, menyelipkan anak rambutku yang berantakan ke balik telingaku. "Saya sadar sekali... Membeberkan segalanya sama kamu hanya untuk memuluskan niat saya, adalah cara yang sangat egois. Cara egois ini telah menyakiti kamu, dan Teteh. Tapi... Harus bagaimana lagi, Risty? Berpikir selama apapun, saya tetap tidak menemukan caranya. Saya takut, kalau kamu terus-terusan menganggap saya sebagai Om. Hanya cara ini yang berhasil saya temukan."

Aku terkejut sendiri... Selain karena Om Afif berbicara panjang lebar, aku juga terkejut dengan segala yang Om Afif katakan.

Sekalipun, aku nggak pernah berpikir bahwa Om Afif merasa takut.

"Kalau kamu mengetahui cara yang lain, tolong... Beritahu saya, Risty. Rasanya saya sangat kualahan menghadapi keinginan saya sendiri. Beritahu saya, Risty. Tolong."

Tanpa peringatan, Om Afif menjatuhkan kepalanya pada pundakku. Dan seketika itu juga, aku merasakan rasa lelah yang sangat kuat menguar dari Om Afif.

Aku mencari-cari tangan Om Afif, demi menautkan jemari kami. Menggenggam tangannya dengan kuat, tanpa sedikitpun keinginan untuk melepasnya.

"Om... Aira mau kuliah. Yang jauh... Dari Om Afif."

So you can keep me...

... Inside the pocket of your ripped jeans.

Holding me close until our eyes meet...

You won't ever be alone,

"Oke."

... Wait for me to come home.

--

Maaf. Bukan niat php atau sejenisnya. Tapi... Aku nggak bisa nulis apapun tentang cerita ini.

Dan sekarang, aku nggak percaya berhasil buat satu part. Biarpun... nggak banyak. Tapi plis, hargai ya.

Aku kangen kalian ih.

Btw, ini kapan ending ya? Haha.

Mwah. Love.

Hana Akuma.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now