Tidak Normal [Afif]

11K 627 16
                                    

Saya melihat Risty yang sedang menatap saya sejak tadi, setelah tangisnya reda. Bahkan dia hampir-hampir tidak pernah melarikan pandangannya kemanapun, hanya tertuju pada saya.

Anehnya, tidak ada perasaan rish yang saya rasakan. Yang ada hanya rasa senang dapat melihat mata itu menatap saya lagi. Sejak hari pertama saya meninggalkan rumah ini tiga bulan lalu, yang terpikir oleh saya hanya Risty yang mengamuk di malam sebelum saya pergi.

Bukannya jengkel, atau kesal, saya malah ingin melihat Risty mengamuk seperti itu lagi, meminta saya untuk tidak pergi.

Entah kemana perginya perasaan lega yang saya rasakan saat akhirnya Risty membiarkan saya pergi. Perasaan lega itu hanya bertahan sebentar, sampai akhirnya saya bangkit dan menghampiri Riska, lalu mengatakan kalau saya memutuskan untuk membatalkan kepindahan kerja saya ke Lombok, secara sepihak.

Ya, saya tidak pergi ke Lombok. Selama tiga bulan kemarin, saya tidak pernah pergi ke Lombok meski hanya satu hari.

Saya tidak tahu, kalau seorang remaja cengeng seperti Risty, mampu membuat saya mengambil keputusan yang lumayan berisiko.

Tapi semua risiko yang ada di depan mata saya, jadi tidak terlalu penting saat mengingat kalau mungkin saja Risty saat itu sedang menangis seperti anak kecil di kamarnya.

Risty-nya saya memang cengeng. Dan saya tidak tahu, sejak kapan senang menyebutnya sebagai, Risty-nya saya. Hal itu terkesan tidak aneh.

"Tidur, ya?" ucap saya akhirnya, saat Risty masih tetap menatap saya. Sekarang sudah hampir pukul setengah empat pagi. Butuh waktu satu jam lebih untuk menunggu tangis Rsty mereda.

"Tidur, ya?" ulang saya saat Risty tidak mengatakan apapun sebagai jawaban. Seperti baru tersadar dari sesuatu, Risty langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Masih ada waktu kurang lebih satu jam, sebelum subuh. Nanti kalau sudah subuh, saya bangunkan."

Risty menggeleng kuat-kuat lagi, tangannya terulur meraih ujung jaket hitam saya yang belum sempat saya lepas sejak tadi. Saya melihat cengkraman kuat Risty pada ujung jaket saya, kemudian beralih menatap Risty.

"Nanti Om pergi lagi, kalo aku tidur. Ya kali, ini cuma mimpi. Nanti pas aku tidur, aku malah kebangun ke dunia nyata." ucap Risty tiba-tiba.

Kalau dalam keadaan normal, dan saya tidak habis membuat kesalah dengan pergi selama tiga bulan, mungkin saya saat ini sudah menertawakan dan meledek ucapan Risty yang aneh dan akhirnya kami saling ejek.

Tapi dalam keadaan sekarang, saya paham betul, kalau Risty hanya takut.

Salah saya. Semua salah saya.

Kalau saja saya tidak terlalu kejam dengan pergi selama tiga bulan tanpa kabar, mungkin Risty tidak akan begini. Dan kalau saja saya tidak mengganti nomor ponsel saya, mungkin saja Risty tidak akan seperti ini.

Kalau tidak tahu keadaan Risty, dan tidak diamuk Ibunya Risty, saya juga sepertinya tidak akan pulang dan tetap merasa cukup, dengan hanya tahu bagaimana keadaan Risty setiap harinya dari bi Inah.

Bukan egois atau tidak peduli pada Risty, tapi saya hanya perlu memastikan satu hal, kalau perasaan saya yang tidak normal pada Risty, bukan sesuatu yang bersifat sementara dan hanya ada karena faktor terbiasa bersama.

Ternyata, perasaan tidak normal saya pada Risty, benar-benar tidak normal. Selama tiga bulan kemarin, keadaan saya tidak jauh berbeda dengan Risty. Bahkan sepertinya saya lebih parah.

Saya lembur setiap hari, pulang kelewat larut dan tidur hanya beberapa jam. Bahkan jam makan tidak teratur, terus bekerja seperti orang gila. Ada saat-saat di mana saya berulang kali mengetik pesan untuk Risty, hanya untuk kembali terus menghapusnya. Terkadang, saya mengetikan nomor ponsel remaja cengeng itu untuk saya telepon, hanya untuk membatalkannya sebelum sempat melakukan panggilan padanya sama sekali.

Tidak normal. Benar-benar tidak normal.

"Tidur di sini saja kalau begitu, saya tidak akan kemana-mana." ucap saya akhirnya. Saya bangkit dari duduk saya di sofa panjang, kemudian menyuruh Risty untuk berbaring.

Meski terlihat ragu, Risty akhirnya membaringkan tubuhnya dengan masih tetap menatap saya. Setelah membenarkan letak bantal sofa yang menjadi alas kepala Risty, saya duduk di lantai di pinggir sofa.

"Tidur, nanti subuh saya bangunkan."

"Janji, nggak akan pergi?"

Saya tersenyum, "tidur, Ty."

"Janji."

"Ya." mungkin janji saya terdengar seperti lagu nina bobo untuknya, karena setelah mendapat kepastian untuk janji yang dirinya tuntut, Risty langsung memejamkan matanya. Napasnya mulai teratur, dan sepertinya dia sudah terlelap dalam mimpi.

Saya memerhatikan sosok Risty yang terpejam, matanya agak bengkak karena menangis lumayan lama tadi. Bahkan jejak lengket bekas-bekas airmata, masih terlihat di pipinya.

Saat meraih salah satu tangan Risty yang lebih kurus untuk saya genggam, saya merasa beruntung, karena menjadi satu-satunya lelaki yang bisa melihat Risty dalam keadaan terburuk, dan terapuh.

===

Haaaaaaiiiiiiii saya balik, mungkin part ini nggak sepanjang part sebelumnya, tapiiiiiii POV siapa iniiiiiiiiihhhhhh?

Ahaha maaf ya, hanya segini yang bisa aku kasih buat kalian. :"

Semakin mendekati ending yey! xD
terima kasih ya.

ah iya, maaf belum balas-balasin komentar di part kemarin, tapi udah aku baca semua kok. Dan tetep ya, ada aja komen yang bikin aku ngakak. Yah, walaupun ada yang bikin aku agak kesel ya, fapi gapapa aku tetep cinta kalian. wkwk

Begini, maaf kalo aku gak bisa apdet cepet-cepet, karena aku udah bilang kan kemarin, kerjaan aku banyak, kayak tumpukan salju. Jadi aku mohon maklumnya. (m)

Jadi plis, jangan bilang untuk aku apdet cepet. Aku juga ngusahain apdet cepet kok. Maaf ya kalo omongan aku nggaj berkenan. Maaf.

Jika pada kenyataannya tidak seperti apa yang aku ingin, bolehkah aku menuliskannya berbeda dari kenyataan dan menjadikannya seperti apa yang aku ingin?

Aku cinta kalian, selalu.

Hana Akuma.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now