Cry (again)

10.3K 570 9
                                    

Rasanya seperti kembali pada hari itu, berada dalam satu kondisi yang tidak berbeda. Hanya saja kali ini bukan aku yang menangis begitu histeris, tetapi seorang teman perempuanku.

Memang yang namanya kematian itu selalu menyakitkan, menerima dengan ikhlas kepergian seseorang bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan dengan sangat mudah.

Butuh kekuatan dan keyakinan besar untuk dapat memerima segalanya dengan benar-benar ikhlas. Tapi meski sudah benar-benar ikhlas, yang namanya perasaan sedih tentu saja pasti masih ada.

Apalagi saat kita berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda. Oke, aku hanya bicara tidak jelas sejak tadi. Jadi begini, Ayah dari salah seorang temanku meninggal hari ini, dan hal itu mengingatkanku pada kepergian Ayahku beberapa bulan lalu.

Saat temanku menangis dalam pelukanku, merasa begitu hilang panduan. Bagaimanapun, seorang Ayah adalah sebuah panduan untuk seorang anak.

Dan saat panduan itu hilang, apa kamu tahu harus melangkah kemana? Mungkin kamu tahu, tapi pasti selalu ragu. Karena panduan yang pasti, sudah tidak lagi kamu pegang.

Aku menarik napasku, turun dari ojek yang kunaiki begitu ojek itu berhenti tepat di depan pagar rumahku. Setelah membayar ongkos ojek, dengan pelan aku melangkahkanbkakiku memasuki rumah. Masih tersisa jejak kesedihan dalam diriku.

Dan aku nggak tahu kalo rasa sedih ini bisa menjadi sebegini menyesakkannya, membuatku merasa benar-benar tidak tahu lagi apa yang sekarang kurasakan. Sedih dan kerinduan, dua perasaan yang  berpeluang besar menghancurkan.

"Ty?" aku mendongak, menatap Om Afif yang berdiri di depanku. "Kenapa?" tanyanya. Aku menggeleng, kemudian menundukan kepalaku lagi, menatap ujung sandal unguku.

Om Afif berdiri tepat di ambang pintu, menghalangi jalanku untuk masuk. Dan tidak ada tanda-tanda kalo dia bakal bergeser dari posisinya, dan membiarkanku masuk. Padahal, yang ingin aku lakukan sekarang adalah, lari ke kamar dan masuk kedalam selimut, kemudian menangis sampai merasa lega.

Kenapa semakin menyesakkan?

"Ty?" saat Om Afif memanggilku untuk yang kedua kalinya, aku mengambil langkah cepat kearahnya, menubruk tubuh Om Afif dan memeluk pinggangnya erat. Masa bodoh dengan Om Afif yang agak terhuyung ke belakang karena kaget dengan pelukan tiba-tibaku.

"Astagfirullah... Ty, kenapa?" suara Om Afif terdengar begitu dekat. Aku menggeleng kuat, mengubur wajahku pada dada Om Afif. Aku nggak mau berpikir apapun saat ini, dan aku hanya tahu satu hal; kalo satu-satunya kenyamanan yang bisa kudapatkan saat inihanya satu, yaitu dari Om Afif.

"Kita masuk ya ke dalam?" aku mengangguk, mengiykan ajakan Om Afif. Sambil tetap dengan posisi aku yang memeluknya, Om Afif membawaku masuk dan duduk di sofa ruang tengah yang biasa menjadi tempat kami untuk saling mem-bully.

"Sekarang, kamu mau cerita kenapa?" tanya Om Afif setelah beberapa menit hanya diam.

Aku menarik napasku, berusaha untuk bersuara biarpun rasanya  males banget. "Nggak  apa-apa, Ai cuma lagi konyol aja." kataku.

Aku merasakan Om Afif menarik napasnya dalam, setelah itu aku merasakan tangannya mengusap kepalaku lembut.

"Menangis saja, saya di sini." dan setelah kata-kata itu diucap oleh Om Afif, tangisku nggak lagi terbendung.

Can I Love You, Uncle?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora