Stupid [Afif]

11.6K 638 73
                                    

Percayalah, yang membuat saya mood untuk melanjutkan cerita ini karena Mamah saya bilang, saya PHP-in para pembaca. T T
Yeah... Mamah saya baca cerita ini, dan itu faktor terbesar saya yang bikin saya gak pede buat lanjut.

Ah, sudahlah. Selamat membaca. ^^

Btw, saya jadi seneng bikin POV Om Afif. Haha.
-

Saya mengetuk pintu di hadapan saya, yang tertutup rapat. "Ty?" panggil saya saat tidak ada sahutan apapun untuk ketukan yang saya ulangi sebanyak tiga kali.

"Apa?" terdengar suara dari dalam sana. Sumbang. Risty... Dia pasti menangis lagi. Kadang saya heran, kenapa dia selalu menemukan alasan untuk menangis.

"Saya boleh masuk?"

"Nggak dikunci." pemberitahuan yang dia berikan, saya artikan sebagai izin untuk saya masuk. Saat pintu yang gagangnya saya putar, membuat pintu tersebut mengayun terbuka, kening saya langsung mengerut. Gelap.

"Kok gelap begini?"

"Nggak tau. Di luar mendung kali." Risty yang sedang berbaring menyamping menghadap tembok, kembali bersuara dengan suaranya yang sumbang.

Apa hubungannya langit mendung dengan gelap kamarnya? Memangnya kalau di luar sana mendung, kamarnya bisa gelap begini? Dia tidak lupa 'kan kalau kamarnya ada atapnya, bukan langsung langit? Dasar.

"Di luar itu sudah malam. Bukan mendung." kata saya sambil menekan saklar lampu, membuat kamar Risty seketika itu juga menjadi terang benderang.

Tidak ada sahutan. Suaranya tidak terdengar lagi. Dia masih menghadap tembok, membelakangi saya yang sekarang sudah duduk di tepi ranjangnya.

"Sudah malam, Ty."

Masih tidak ada respon. Saya memerhatikan pundaknya yabg bergetar, sesekali isakan kecilnya terdengar. Saya menghela napas tidak kentara, sebenarnya merasa lelas sepulang kerja. Tapi gara-gara Bi Inah yang langsung menghampiri saya begitu memasuki rumah dan memberitahu kalau Risthy belum keluar dari kamarnya sejak jam 12 siang tadi, membuat rasa lelah saya seketika itu hilang dan tergantikan rasa cemas.

Remaja labil yang cengeng ini memang tidak pernah ada lelahnya bikin saya cemas, sepertinya. Ada saja kelakuannya yang bikin saya khawatir.

Saya melihat jam di pergelangan tangan, dan langsung meringis dalam hati. Sekarang pukul 10 malam, berarti sudah 10 jam Risty tidak keluat dari sarangnya.

"Ty, kamu tidak shalat ashar dan maghrib ya? Isya juga pasti belum, 'kan?"

Risty bergerak di tempatnya, mendengar pertanyaan saya meski dia belum juga berbalik.

"Emangnya udah ashar? Tadi baru juga dzuhur, perasaan." suaranya tersendat beberapa kali saat menjawab.

"Makanya kalau nangis lihat jam. Sekarang sudah jam 10 malam tahu."

"Siapa yang nangis sih?" ucapnya sewot.

Saya kembali menghela napas, kali ini sengaja dikeraskan. "Nangisin apa sih, kamu?" tanya saya seraya menarik satu tangannya, memaksa Risty untuk bangkit.

"Apa sih Om?" dia menarik kuat tangannya, menggagalkan usaha saya yang menariknya untuk bangkit.

"Bangun dulu. Bilang, apa yang kamu tangisi?" tidak menyerah, saya kembali menarik tangan Risty. Kali ini dia bangkit, biarpun dengan malas-malasan.

Dia tidak menjawab pertanyaan saya, masih sibuk dengan isakannya yang pelan. Mungkin dia sudah mulai kelelahan. Saya yakin, dalam waktu 10 jam pasti dia menangis, lalu tertidur karena kelelahan menangis, dan kembali menangis lagi saat bangun. Lihat saja matanya yang bengkak mengerikan.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now