Moody

10.7K 589 30
                                    

"Ameseyu, baregul~ bahrelwey~ bahrelwey~ ame—Adaw!" aku meringis saat merasakan tendangan pada kakiku, langsung menatap tajam pada tersangka utama.

"Sakit!" kataku pada Om Afif yang masih berlagak kalem, duduk dengan santai di atas sofa.

"Kuping saya sakit hati dari tadi, biasa saja."

Mataku menyipit, "kuping nggak punya hati!"

"Yang punya kuping punya."

Aku berdecak, berhenti menyipitkan mata atau menatap tajam pada Om Afif. Blah! Percuma, dia samasekali nggak peduli. Buktinya dari tadi perhatiannya nggak sedikit pun teralih ke aku. Dia masih aja menghadap laptop tercintanya dan sibuk mengerjakan sesuatu.

Aku heran, kenapa Om Afif nggak pacarin aja tuh laptopnya? Secara dia tiap ngeliat ke layar laptopnya mesra gitu, penuh perhatian. Cih.

"Ngambek?"

Aku melengos, membuka buku paket Fisikaku lagi. Modus, padahal mah sudah nggak minat belajar Fisika lagi. Tapi daripada terlibat percakapan nyebelin yang bikin aku sakit jiwa, mending abaikan aja manusia satu itu. Ha!

"Ngambek?" Om Afif mengulangi pertanyaannya. Kali ini dia melirikku sebentar, lalau fokus pada layar laptonya lagi.

"Pacarin. Udah, pacarin aja itu laptop!" ucapku. Dan tanpa disangka, kali ini Om Afif menolehkan kepalanya padaku.

Aku bersikap defensif, meliapat kedua tanganku di dada sambil mengangkat daguku. Toh buku Fisikaku memang nasibnya harus terabaikan. Malem minggu ini coy, waktunya lupain pelajaran sejenak sebenernya.

"Sekarang ditambah cemburu?"

Aku refleks langsung menoleh pada Om Afif. Aku menatap Om Afif dengan tatapan heran bercampur geli. Cemburu katanya? Haha. Sama laptop pula! Enak aja! Tapi kenyataannya emang IYA! Eh.

"Yah, yah, yah. Ngapain cemburu ama laptop? Aku kurang kerjaan amat. Nggak penting dih!" muna dikit weh. Tau sendiri Om Afif orangnya belagu. Ya mau ditaro mana juga kan muka aku, kalo Om Afif tau aku beneran cemburu sama laptopnya dia. Idiw.

"Kalau tidak ya sudah. Tidak usah nyolot salah tingkah begitu." Om Afif kembali menekuni laptopnya.

Datar sih bicaranya. Tapi tetep tetep aja bikin gengsi aku sakit hati. Secara dari omongannya barusan, Om Afif tahu kalo kenyataannya aku emang cemburu sama laptopnya.

Ngeselin!

Buk!

Aku meringis, memegangi dahiku yang baru saja dengan sengaja kubenturkan dengan buku paket Fisikaku yang tebalnya lumayan. Uring-uringankan, emosi jiwa sih.

Om Afif menoleh. Ya terus aja begitu, ntar juga tuh leher kecengklak. Mudah-mudahan!

"Kamu kenapa sih, Ty?" tangannya terulur, menyentuh dahiku. Tadinya pengen ngehindar, tapi nggak sempet. "Tanggung kalau hanya dengan buku paket. Benturkan ke tembok saja sekalian."

Oke, Fix. Itu omongan tajem, nusuknya tepat di hati.

Aku menepis tangan Om Afif kasar, mimpi aja aku ngarep Om Afif tiba-tiba jadi manis. Blah! Tunggu dia ganti kepribadian dulu.

Aku bangkit dari sofa, berjalan menuju kamar setelah membereskan perlatan belajarku yang terserak di meja. Sebodo deh, mau si Om Afif jungkir balik juga gak apa-apa.

Kututup pintu kamarku dengan bantingan yang cukup keras, bahkan sampai membuatku kaget sendiri. Tuh ya, kalo kesel begini, kayanya setiap hal tuh berkonspirasi bikin aku kesel, bahkan sampai hal-hal sepelepun rasanya bisa bikin alasan buat kesel.

Can I Love You, Uncle?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang