Ayah... Ai sayang Ayah....

12.2K 572 25
                                    

Ayah...

Dari tadi, sejak aku berada dalam perjalanan menuju Bandung, aku gak henti-hentinya do'a. Aku memanggil Ayah berulang kali, berusaha meyakinkan diri sendiri; kalo Ayah bakal baik-baik aja, Ayah cuma terlalu lelah.

Ayah...

Aku makin sering memanggil Ayah sewaktu tiba dan melangkah masuk ke rumah sakit, dengan Om Afif yang menggenggam tanganku. Malam udah larut pas kami sampe. Jantungku berdegup kencang, menyesakan dan menyakitkan. Ayah baik-baik aja, cuma terlalu lelah. Ya, cuma itu.

Ayah...

Semuanya sirnah, harapanku pupus layaknya daun yang berguguran di musim gugur. Aku terpukul, kenyataan gak berpihak padaku.

Aku terlambat. Sebentar aku ragu, mencerna semuanya dengan otakku. Langkahku memelan, tidak setergesa tadi. Aku lemes, tubuhku tiba-tiba merasa kebas.

Aku terlambat...

Aku sadar genggaman tangan Om Afif padaku, mengencang. Tapi aku merasa aneh, gak mendapat ketenangan seperti tadi.

"Mama..." aku memanggil Mama yang mulai menangis histeris saat dokter yang keluar tepat ketika aku hampir sampai pada Mama, bicara. Mengatakan hal yang membuatku kehilangan.

Ayah... Ai udah dateng....

"Mama..." aku kembali memanggil Mama, dengan langkah yang perlahan mendekat. Om Afif masih nggak melepaskan genggamannya dariku. Aku mencengkram kuat-kuat genggaman Om Afif.

Mama mengangkat wajahnya dari bahu Tante Lidya, menatapku dengan mata berairnya yang merah. Wajah Mama pucat, terlihat... Hampa.

Mama menatapku, kemudian tangisnya kembali meledak, Mama menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan Mama padaku begitu erat, tubuh tua Mama terasa begitu rapuh saat ini.

"Mama, Ayah..." aku menghentikan kata-kataku, begitu linglung. Masih dengan perasaan hampa, dan wajah kosong, aku mengangkat tanganku, mengelus lembut punggung Mama. Tidak ada setetes airmatapun yang merembas dari mataku.

"Ai," Mama mencoba bicara disela-sela isakannya. "Sekarang kita tinggal berdua. Kamu baik-baik ya, inget kata Ayah buat jadi anak yang baik, yang solehah..." ucap Mama tersekat-sekat. Aku terdiam, gerakan mengelus punggung Mama yang kulakukan, berhenti.

Otakku mencerna setiap kata yang Mama ucapkan.

Sekarang kita tinggal berdua...

Inget kata ayah untuk menjadi anak yang baik dan solehah...

Kenapa? Kita bertiga. Bukan berdua. Mama, aku, dan Ayah... Ya kan?

Kalo cuma berdua, aku dan Mama, berarti Ayah gak akan ada lagi. Ayah gak akan lagi hadir ditengah-tengah kami.

Sekarang aku mengerti, kenapa semua begitu menyesakan. Tahu, apa arti kehilangan.

Ayah memang lelah, dan beliau butuh istirahat. Ya, istirahat yang panjang... Sampe aku gak akan pernah melihat beliau terbangun.

Tiba-tiba aku merasa tubuhku ditarik, terlepas dari dekapan Mama. Sekarang yang memelukku bukanlah Mama, tapi pria tinggi berkacamata yang begitu familier untukku akhir-akhir ini.

Aku mendongak, menatap Om Afif dengan pandangan kosong. Tapi akhirnya pandanganku tertarik, menatap lekat mata cokelat gelap Om Afif yang memerah di balik bingkai kacamatanya.

"Ayah Ai udah nggak ada..." ucapku yang berupa bisikan. Seketika itu, aku merasa pertahanan diriku retak, lalu pecah menjadi serpihan.

"Ai masih butuh Ayah..." suaraku bergetar. Mataku juga mulai memanas, didetik kemudian, airmata sudah mengalir seenaknya darimataku.

"Saya tau." Om Afif menekan bibirnya yang bergetar menjadi garis tipis.

"Ai terlambat," kataku. "Ai butuh Ayah, Ai belum bisa ditinggal. Ai belum bisa cuma berdua sama Mama. Ayah kenapa jahat banget!?" aku mulai histeris, meronta minta dilepaskan dari pelukan Om Afif. Aku tersadar, bukan hanya aku yang menangis disini. Suara Mama terdengar memilukan.

Ayah... Lihat Mama....

"Ayah cuma butuh istirahat! Lepasin, Ai mau ketemu Ayah! Lepasin!" aku semakin lepas kendali, sedangkan wajahku sudah basah.

Hidup terkadang gak adil. Kenapa harus Ayah? Orang yang penting buat aku, mengajarkan banyak hal padaku. Orang yang memarahiku saat aku melakukan hal salah. Orang yang menggendongku saat aku mengalami kecelakaan. Ayah memang nggak muda lagi, tapi Ayah bisa melakukan itu.

Tapi sekarang, aku cuma akan terus hidup dalam ingatan kenangan aku dan Ayah, juga Mama.

"Hidup ini gak adil..." aku berhenti meronta. Tenagaku terasa terkuras habis. "Mama sama Ai, butuh Ayah..." ujarku. Om Afif mendekapku. Begitu erat, penuh perlindungan.

"Istighfar, Ty. Ikhlaskan, semua orang, pada akhirnya akan kembali kepada penciptanya. Allah selalu tau yang terbaik untuk hamba-hambaNya." suara Om Afif juga terdengar bergetar. Apa Om ngerasain apa yang Ai rasain?

"Saya lebih dulu mengalami ini daripada kamu. Ikhlaskan, do'akan. Minta pada Allah agar Allah memudahkan jalan Ayah kamu." lanjut Om Afif.

Perlahan-lahan aku mulai tenang, walaupun masih terisak hebat. Aku memaksa otakku untuk berfikir lebih jernih, lebih waras sampai bisa merasa ikhlas.

Tapi kilasan memori tentang aku dan Ayah, berputar di kepalaku layaknya film.

"Ai, pelan-pelan ya, Ayah bakalan lepas dihitungan ke tiga. Satu... Dua... Tiga." Ayah melepas tangannya yang memegang sepeda kecilku. Roda sepeda itu terus berputar, aku terlihat begitu hati-hati sekaligus senang saat itu. Dan Ayah... Tersenyum bangga padaku.

"Ai! Nurut gak. Kalo Ayah bilang jangan, ya jangan." wajah marah Ayah terlihat jelas kala itu, saat aku memaksa belajar membawa motor. Tanpa sepengetahuan Ayah dan Mama, aku nekat main dengan motor bareng teman-temanku. Tapi saat pulang, siapa yang sangka Ayah akan menyambutku dengan panik? Aku kecelakaan, aku tidak bisa berjalan...

Tapi saat itu, Ayah langsung menggendongku, membaku ke tempat alternatif.

"Ai, inget, jangan bandel. Jadi anak yang baik, sholehah. Jangan nyusahin Mama, dan nurut apa kata Om Afif. Ngerti?" suara Ayah ditelepon yang berbicara padaku, masih terdengar jelas di kepalaku.

Ayah... Ai belum siap.

Ayah... Ini baru tahun ketujuhbelas Ai, hidup di dunia. Apa Ayah gak bisa ada lebih lama lagi?

Ayah... Ai sayang Ayah....

Biarpun belum siap, biarpun gak akan pernah siap, Ai ikhlas... Ai ikhlas Ayah pergi. Ayah yang tenang ya di sana, Ai pasti rajin kirim do'a buat ayah. Tunggu Ai sama Mama ya, yah?

Ai sayang Ayah....

"Innalillahi wa innaillaihi roji'un." ucapku pelan. Benar-benar pelan, mungkin hanya aku yang bisa mendengar.

Aku nggak bisa lagi melihat tubuh kaku Ayah di hadapanku. Ayah begitu pucat, begitu damai. Terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tenangnya. Aku gak akan lagi melihat mata itu terbuka. Dan gak akan lagi mendengar suara berat milik Ayah.

Semua itu meninggalkan keriduan yang menyesakan, menyakitkan.

Pandanganku tertuju pada Mama yang sudah lebih bisa terkendali. Tapi melihat Mama hanya membuat kenangan kami bertiga, terulang dikepalaku.

Dan saat kenangan itu menyerbuku, aku gak lagi kuat melihat wajah Ayah, memilih kegelapan yang tadinya samar, menjadi kian jelas dan pekat. Kemudian, aku tenggelam di dalamnya, merasa tubuhku melayang sebelum seseorang yang suaranya familier menangkapku.

"Ty, Risty!"

Om Afif....

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now