Kangen.

11.1K 627 15
                                    

Aku nggak akan bertanya-tanya perasaan jenis apa ini. Aku juga nggak akan bingung-bingung, apa nama perasaan ini. Karena aku tahu dengan jelas, apa yang kurasain ini.

Karena aku tahu, perasaan ini, jenis perasaan yang bikin kamu memiliki keinginan kuat untuk bertemu seseorang. Nama perasaan ini, adalah perasaan lega saat kamu bahkan hanya mendengar suara seseorang tersebut. Aku tahu, apa yang kurasain saat ini adalah... Kangen.

Sama siapa?

Uh-oh, dengan melempar harga diriku ke kandang singa, aku mengakui, bahwa objek kekangenanku adalah... Om Afif.

Kenapa aku bisa kangen sama orang kulkas itu?

Karena... Ha-ha-ha-ha. Dia pergi keluar kota sudah seminggu ini. Aku juga nggak tahu alasan kenapa aku bisa, atau harus kangen sama Om Afifi.

Mungkin, karena aku biasa menemukan keberadaannya di sekitarku. Makanya pas dia nggak ada gini, aku jadi ngerasa ada yang aneh. Nggak tepat, salah dan... Kurang.

Padahal... Dulu Om Afif juga nggak ada di sekitarku 'kan? Yeah... Ini dia kali ya namanya 'terbiasa' dengan kehadiran seseorang di sekitar kita.

Ck! Bodo deh, yang jelas si Om Afif itu PHP! Bilangnya hari ini pulang, tapi mana? Hello~ ini udah jam 10, mau pulang jam berapa dia? Aku dengar suara mobil masuk garasi, atau langkah kaki dia masuk rumah aja, nggak! Cih!

Aku jadi kesal sendiri tau! Oke, tenang... Tarik napas, hembusin. Tarik napas, hembusin. Tarik napa... Ha! Dia emang ngeselin!

Dengan kesal, aku meremas kertas yang habis kucoret-coret nggak jelas, menaruhnya begitu saja di atas meja dengan hentakan.

Oke, fokus Ai, fokus!

Kutarik napasku dalam, menenangkan diri dari gejolak emosi yang tiba-tiba tersulut oleh perasaan yang terdiri dari satu kata, enam huruf. Aku nggak tahu, kalo ada perasaan itu, bisa bikin kesal mendadak.

"Titrasi asam basa. Titrasi adalah--"

"Ty,"

Uh-oh. Uh-oh. Uh-oh! Plis, cuma itu yang terlintas dipikiranku. Gimana sih? Aku kudu gimana coba? Padahal baru beberapa menit lalu aku mikirin ini orang, nah! Sekarang orangnya ada di mari. Aku nggak bisa nyebut Om Afif PHP lagi dong? Dia benaran pulang malam ini soalnya.

"Apa?" sahutku terkesan ogah-ogahan. Aku berusaha fokus pada buku kimiaku yang berada di atas meja.

"Saya cape."

"Ya udah, istirahat sana."

"Sebentar lagi."

Hening.

Well, bukannya aku nggak mau nanggapin Om Afif, aku cuma nggak tahu harus menanggapi gimana. Tiba-tiba aja perasaan kesalku berubah jadi nggak karuan. Aku senang, lega, dan bla bla lainnya. Karena Om Afif udah ada di sekitarku lagi, bahkan duduk di samping aku.

Kemeja abu-abu yang Om Afif pakai, terlihat kusut. Lengan kemejanya sudah digulung sampai siku, kancing teratasnya sudah dibuka, dan dasi hitamnya sudah menggantung longgar. Boleh aku bilang Om Afif keliatan makin tampan dengan penampilannya yang begini?

Aduh! Ai, fokus sama kimia oi!

"Kenapa tepuk-tepuk jidat sendiri? Tidak dibenturin ke tembok aja sekalian? Atau perlu bantuan, buat ngebenturinnya?"

Nggak jadi! Serius nggak jadi! Nggak jadi aku kangen sama Om Afif, nyebelinnya dia belum sembuh ternyata. Malah makin parah. Amit-amit.

"Udah sana istirahat aja. Ruang tamu jadi panas tau nggak gara-gara ada Om. Hih!"

"Memangnya kamu sudah puas?"

Aku menaikan sebelah alisku. Puas apaan? Suka bikin orang nggak mudeng aja deh.

"Puas?"

"Iya, puas. Tau 'kan puas?" hello, Om Afif minta banget dikemplang kali ya? Aku juga tau kali puas tuh apa.

"Taulah! Tapi puas dalam hal apa?"

"Puas liat saya."

Kampret! Eh, astagfirullah. Keceplosan kan jadinya. Lagian ini si Om Afif apa banget. Dia nggak bisa baca pikiran atau hati 'kan? Nggak 'kan? NGGAK 'KAN!?

Ya ampun, jatoh ini harga diri.

"Jeeeee, sok banget! Ngapain Ai liatin Om. Udah sana. Sana masuk kamar. Ai kudu belajar nih."

"Apa sih?" tanyaku, saat Om Afif hanya memandangku tanpa mengatakan apapun, bahkan nanggapin omonganku sebelumnya aja nggak.

Nah, nah, nah 'kan. Sekarang dia malah senyum. Serius deh, bakat alaminya Om Afif kali ya bikin orang bingung.

"Kenapa sih, Om? Abis dari luar kota, otaknya konslet ya?"

"Tidak, saya hanya menyadari satu hal."

Dahiku berkerut, "apa?"

"Ternyata, kamu bisa bikin kangen." Om Afif mengacak rambutku, menepuk kepalaku lembut beberapa kali. "Saya istirahat duluan ya, jangan belajar sampai tengah malam. Oke, saya sudah puas lihat kamu." ucap Om Afif. Setelah itu dia bangkit berdiri, dan melangkah dengan santai menuju kamarnya.

Tepat setelah Om Afif menutup pintu kamarnya dari dalam, aku menghempaskan tubuhku berbaring di sofa.

Plis, siapapun, pentokin gue ke tembok!

Can I Love You, Uncle?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang