Rumah, aku pulang.

6K 358 10
                                    

Semuanya terjadi begitu saja. Om Afif yang tiba-tiba datang, penjelasan tentang segalanya selama ini, dan ajakan menikah yang memang bukan lagi dadakan. Aku nggak terkejut dengan ajakan menikah yang Om Afif lontarkan. Sejujurnya aku terkejut dengan fakta bahwa hal yang pernah kukhayalkan, menjadi kenyataan.

Aku menyimpan rahasiaku baik-baik. Sebelum semuanya terjadi, jelas aku menaruh perasaan terlebih dahulu sama Om Afif. Tapi diajak menikah sama Om Afif? Kupikir itu cuma bakal jadi khayalanku yang nggak pernah terwujud. Dan pikiran itu bahkan masih terus ada, saat Om Afif bilang bahwa cincin yang dia kasih adalah cincin lamaran.

Menikah sama Om Afif adalah impian yang kusembunyikan dari orang-orang, termasuk diriku sendiri. Aku nggak berani berharap terlalu jauh. Terlebih saat semua drama kenyataan yang terjadi, aku merasa mimpiku semakin miris. Nggak ada sinyal-sinyal kalau mimpiku bakal terwujud, disaat kami berkomunikasi saja nggak. Terpisah jarak ratusan kilo meter, bahkan memulai hidup di pulau yang berbeda.

Aku terserang rindu setiap malam, menangis dalam diam, dan merasa sakit ketika mata terpejam. Apa nggak kurang ngenes sih, aku?! Hampir dua tahun kami terpisah, terlalu banyak waktu yang terbuang karena segala omong kosong drama yang ada!

"Terus kuliah Ai gimana?" aku membuka dialog, sambil tanganku tidak berhenti melipat pakaian untuk dimasukan ke dalam koper.

"Tetap lanjut. Saya nggak keberatan. Tapi pindah saja ke Universitas yang ada di Jakarta, ya?" Om Afif yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, menoleh padaku. Tangannya terangkat untuk memperbaiki kacamatanya yang melorot, dengan jari telunjuk. Om Afif memusatkan perhatiannya padaku.

Aku terdiam sebentar, berpikir dampak apa yang akan kudapati dari berpindah Universitas yang akan kulakukan. "Masa pindah? Udah semester tiga, Om." Ujarku, mencoba nawar.

"Mumpung baru semester tiga. Belum semester enam." Om Afif menjawab enteng, seperti biasa. Kayak argumenku nggak perlu dia mentahkan dengan berpikir keras. Kadang kalau mikir, ya ngenes sendiri. Aku yang cuma remahan roti di Holland Bakery, bakal punya suami yang jenius. Bisa tertindas setiap saat, kalau debat!

"Adaptasi lagi berarti?" aku menghela napas, pura-pura melas. "Gebetan apa kabar? Fans Ai nanti gimana? Aduh, nggak banget cari teman baru lagi." Aku melanjutkan, tanganku kembali memasukan pakaian ke dalam koper.

Alibi saja sih, sebetulnya ya nggak masalah kalau aku harus pindah ke Universitas di Jakarta. Di sini temanku nggak terlalu banyak, karena selama berada di sini aku cuma memfokuskan diri buat kuliah. Bersosialisai sekadarnya, bahkan sama tetangga kontrakan saja cuma kenal tetangga kanan-kiri-depan. Bayangkan, nggak asik banget hidup orang yang mencoba kabur dari masalah hatinya, man-teman!

"Kamu ada gebetan memang?"

"Remehin! Suka gitu tuh, kayak keponakannya ini spesies perempuan paling buruk aja!" aku sewot, menutup koper dan menarik ritsletingnya dengan kekuatan penuh. Kukira Om Afif bakal tertawa kecil, atau paling nggak terkekeh gitu karena ocehanku. Nyatanya saat aku mengangkat wajah dan melihat Om Afif, dia justru sedang memasang wajah kurang senang dengan tatapan yang mengarah tajam padaku.

Aduh! Salah ngomong nih kayaknya.

"Keponakan ya? Hm ... "

Aku meringis dalam hati. Nada bicaranya Om Afif tenang banget, tapi itu bikin dia kelihatan angker. Mati kutu ini mau ngomong apa? Takut apa yang bakal aku omong, malah kayak nyiram bensin ke kobaran api yang tadinya nggak seberapa. Aku belum siap terbakar!

Aku menelan ludah hati-hati, menarik koper dari atas tempat tidur dan meletakkannya pelan di atas lantai samping tempat tidur.

"Sepertinya kamu harus berhenti memanggil saya dengan sebutan 'Om', biar kamu berhenti merasa jadi keponakan saya. Dan ... Biar nggak ada lagi omong kosong soal gebetan!" Om Afif bicara lagi, kali ini dia memasukan ponselnya ke dalam saku dan berdiri.

Can I Love You, Uncle?Where stories live. Discover now