Iki|Bryan

439 28 1
                                    

"Itu... Mun, bapak tarok di gudang. Bentar lagi pindahan. Kekampung," jawab bapak.

"Bapak mau ke tempat nenek?" tanya Iki. Sontak bapak mengangguk cepat. Kembali aku menoleh ke dinding. Mau pindahan kok cuma turunin satu aja, kenapa gak turunin semua.

"Bapak ngapain ke kampung, tinggal bareng kita aja, Iki beli rumah itu gede banget pak kami cuma berdua." ujarku, Iki mengangguk setuju.

"Gak apa, bapak kekampung saja."

"Trus gimana ceritanya itu tempat pekerja'an bapak yang baru." tanya Iki lagi, sejenak bapak terdiam.

"Bapak kurang suka, mungkin akan segera resign secepatnya."

"Oh ya sudah... " singkat Iki.

"Kalian datang buat apa ya?" tanya bapak lagi. Iki tersenyum dan berkata.

"Kita berdua kangen bapak aja, jadi datang deh kesini. Takut kualat Iki gak ngunjungi bapak ini sudah cukup lama." gerutunya. Bapak terkekeh.

"Tak apa nak, bapak mengerti kok. Kamu  sangat sibuk sekarang bapak bangga punya anak sepertimu." ucap bapak reflek hati kami berdua teranyuh.

"Kamu tunggu disini ya Ki, bapak buatkan sesuatu dulu buat kalian." ujarnya. Sigap aku berdiri dan mencegat bapak.

"Gak usah pak, biar Mumun yang bikinkan" ucapku, bapak berhenti dengan senyum dan mengangguk.

"Oh iya, silahkan Mun."

"Bapak duduk aja ya temani Iki mengobrol" pintaku dan beranjak pergi ke dapur."

"Ki kamu mau minum apa?" tanyaku pada Iki.

"Coffe susu sayang." singkatnya, sedikit pipiku bersemu merah akan perlakuan bocah yang satu ini, setiap hari dia selalu membuat aku klepek-klepek. Bapak hanya bisa tersenyum simpul melihat kami berdua. Tanpa pikir panjangpun aku bergegas ke dapur. Namun saat memanaskan air aku melihat asap mengepul di belakang rumah dari jendela dapur itu. Sedikit aku penasaran. Bapak lagi bakar apa akhirnya aku perkecil api kompor dan melihat diluar tampaknya Api hanya menyala sedang, hingga menyisakan gepulan asap. Mataku sedikit terbuka melihat frame foto yang sudah terbakar bersama foto Iki yang terpajang didinding sebelumnya itu sudah habis terbakar setengah hingga menyisakan kepingan kecil bergegas aku padamkan bara api dengan kaki dan menyelamatkan potongan gambar yang tersisa.

"Oh Tuhan... Kasian sekali padahal foto ini bagus." bisikku menyelamatkan serpihan itu. Tak ada lagi yang bisa di lihat selain sepatu mungil Iki berwarna merah. Dan nomor kode telpon yang terletak di samping Iki. Aku coba bersihkan dan simpan didalam tas. Sepanjang langkahku kembali aku bingung kenapa bapak membakar poto itu. Ini terasa sedikit janggal aku harus cari tau.

Aku kembali dengan nampan berisikan minuman, ku coba diam dulu tak mau bahas poto itu lagi. Ini memang sangat membingungkan bapak bilang itu foto diambil dirumah keluarga Iki di bandung, tapi bapak bilang ke Iki hasil editan, dan kode telpon yang ada di rumah tante Drista, sama persis dengan yang tertera di foto ini. Hingga kedatangan wanita tadi? Dia memandang Iki dalam sekali seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dan terakhir aku temukan poto ini hampir habis di lalap api. Ini benar-benar ganjal. Sejenak aku berfikir Iki adalah Bryan? Oh tuhan apakah itu benar, Revan dan Iki bersaudara.  Tapi aku harus coba cari tau dulu.

"Mun hati-hati.." titah Iki, sontak aku terbangun dari lamunanku berjalan terus tak melihat aku sudah sampai di kaki meja sembari membawa nampan.

"Kenapa nak? Kok bawa nampanya sambil bengong?" tanya bapak, reflek aku menggeleng dan tertawa renyah.

"Tidak ada apa-apa pak,  Mumum emang kurang sehat sebelumnya." aku meletakkan nampan berisikan air minum itu

"Ya udah sini istirahat." ujar Iki menggapai badanku dengan nurut aku duduk disampingnya.

SUAMIKU BOCAH!Where stories live. Discover now