Ngambek

312 23 1
                                    


Kita adalah,
rasa yang tepat.

Di waktu yang salah.




Pov Drista

"Kalo begitu? Kamu bisa bantu mama Van?" lirihku coba sedikit beringsut.

"Mama, mau minta tolong apa?" aku mendegup dan coba mengelus wajah sisulung Laras itu lembut.

"Hanya kamu yang mempercayai mama sekarang. Ajak mama keluar rumah ini. Mama ingin melihat taman." ujarku.

"Tapi ini sudah malam ma?" tanyanya. Aku menarik ujung bibirku untuk tersenyum.

"Justru itu nak, mama pengen ke taman sekarang." ujarku

"Oh baiklah" ucap Revan, sigap berdiri mengambil kursi roda.

"Tapi nak? Pastikan tidak ada orang yang melihat kita?" pintaku.

"Kenapa mah?"

"Sudah kamu nurut saja ya" ujarku. Anak itu tampak mengangguk dan membawa kursi roda untukku.

"Ayo mah naik." ujarnya. Aku beriyak dengan tertatih karna begitu lemah. Aku harus kuat dan segera pergi dari sini.

"Revan?" panggil Laras, sontak mata kami berdua terbuka, anak itu gemetar melihat kearahku.

"Dorong mama kedalam lift." titahku dengan sigap Revan mendorongku dan memencet tombolnya.

"Sayang? Kamu ngapain masih disini? Kebiasa'an ya? Suka mainin leftnya. Itu bukan mainan Revan!" hardik Laras. Masih bisa aku dengar Laras menggerutu seiring pintu itu tertutup. Mesin Left itu beranjak turun kelantai utama.

Tit Tit  Tit...

Bunyi alarma tanda pintu akan segera terbuka dengan susah payah aku berigsut melangkahkan kaki dengan kursi roda itu keluar. Akhirnya aku bisa juga keluar left dan berjalan ke halaman belakang. Gemetar aku coba agar tidak ketahuan keamanan. Karna semua ini adalah suruhannya Laras. Aku bisa mati detik ini juga jika ketahuan.

"Ya sudah.. Kamu tidur ya sayang, besok kamu harus sekolah dan les private. Jadi jangan begadang lagi. " terdengar Laras menggerutu pada Vano.

Trakt..

Pintu kamar terkatup bergema dari lantai tiga.mungkin Laras sudah masuk kamar. Gemetar aku coba mengambil ponsel dari sakuku dan menghubungi seseorang. Namun aku terkejut saat tiba-tiba Revan datang menghampiriku.

"Mama.." ucapnya.

"Revan... Sudah sana? Kamu tidur saja ya? Jika mamamu tau dia pasti marah?" ujarku.

"Tapi mah. Mama gak apa sendiri?"

"Gak apa sayang?"

Dengan berat hati anak itu tampak nurut membalik.

Tuuuuuut Tuuuuut Tuuuut..

Bunyi panggilan tersambung pada seseorang. Sekarang aku tidak bisa berfikir dengan jernih lagi. Aku menghubungi temanku, preman nakal yang sangat akrab sekali dengan kekerasan. Dia narapidana kasus pembunuhan. Dulu waktu aku jadi tetangganya aku tidak ingin bertegur sapa dengannya namun sekarang aku butuh dia, dia pasti sangat tergiur jika aku iming-imingi uang, Laras. Dia telah membunuh putraku. Dia salah telah meremehkan wanita sepertiku.

SUAMIKU BOCAH!Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu