𝙿𝚛𝚘𝚕𝚘𝚐𝚞𝚎

1.4K 237 13
                                    

≪•◦ ❈ ◦•≫

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

≪•◦ ❈ ◦•≫

"Bawa pergi ibumu. Pergi ke tempat yang aman."

"Bagaimana denganmu?"

"Aku harus di sini. Cepat. Waktunya tidak lagi banyak. Mereka sudah berhasil melewati gerbang utama."

Kedua pria berbeda usia itu masih sempat-sempatnya berdebat sementara keadaan di luar semakin kacau. Si muda tidak ingin pergi tanpa ayahnya. Namun, ayahnya ingin tetap bertahan. Ayahnya masih seorang raja. Ia tidak boleh kabur saat rakyat membutuhkannya.

"Aku bisa membantumu di sini. Usiaku sudah dua puluh tahun. Aku sudah dewasa."

Sang ayah kini memegang pundak anaknya dengan kedua tangannya. Matanya menatap sepasang mata hijau di hadapannya. Mata yang benar-benar sama persis dengan milik istrinya. "Kau harus selalu melindungi ibumu. Ini perintah," ujarnya. Ia bicara dengan tegas namun kelembutan juga menyertai kalimat itu.

Akhirnya, mereka pun keluar dari ruangan itu. Kemudian berpelukan sebelum akhirnya mereka berjalan menuju arah yang berbeda. Dengan langkah berat si anak berusaha untuk tidak menoleh ke belakang.

Suara jeritan malam itu begitu memekakkan telinga. Tangisan anak-anak terdengar dari seluruh penjuru. Banyak rumah yang terbakar. Mayat pun berserakan di mana-mana. Serangan tiba-tiba itu membuat segalanya hancur dalam sekejap.

Raja pun sudah kehilangan hampir seluruh pasukannya. Kini, ia yang semakin lemah karena anak panah yang menusuk perutnya harus berhadapan dengan dalang atas kejadian ini. Wanita yang pernah dikenalnya itu ternyata memang sangat berbahaya.

Mirinda memang tidak banyak membawa manusia. Akan tetapi, pasukan yang terdiri dari berbagai macam makhluk ganas–seperti manusia serigala, ogre, troll, minotaur, dan masih banyak lagi–itu jelas lebih kuat. Lawannya sudah hampir habis. Sedangkan pasukannya, hanya berkurang sedikit. Keberhasilan yang sudah pasti akan menjadi miliknya pun membuat salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Dan, itu membuatnya tampak semakin mengerikan. Walau sebenarnya, wajah Mirinda masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda. Namun, tetap saja wajahnya tampak kejam.

Kini, hanya tinggal satu yang harus ia habisi. Raja tua yang mencampakkan dirinya di masa lalu karena seorang gadis bodoh.

"Jangan sakiti rakyatku." Suara lemah itu memohon kepada Mirinda.

Iris ungu Mirinda menatap ke arah Raja Caleb yang sekarat di atas tanah. "Apa yang akan kau berikan jika aku menurutinya?" tanyanya dengan nada gembira. Jelas, ia hanya mengejek ketidakberdayaan lawan di hadapannya. Ia tidak benar-benar bertanya. Sebab, ia akan membunuhnya dengan belati yang ia sembunyikan di balik tubuhnya.

Raja Caleb tidak menjawab. Entah karena tidak lagi mampu bicara atau karena tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku tidak suka membuang waktu." Mirinda mulai memperlihatkan belatinya, memegangnya dengan tangannya yang berkuku hitam dan tajam. Raja Caleb kini benar-benar sekarat. Ia bahkan sudah tak mampu bergerak sedikit pun. Pedang di tangannya pun tak lagi mampu ia genggam. Sebab, luka di tubuhnya pun cukup banyak. Meski, anak panah itu yang paling mampu melemahkannya.

"Seharusnya dulu kau tidak memilihnya." Kalimat itu pun menjadi kalimat terakhir yang Raja Caleb dengar sebelum akhirnya belati menancap ke dada kirinya.

≪•◦ ❈ ◦•≫

≪•◦ ❈ ◦•≫

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
The Lost Castle [END]Where stories live. Discover now