𝟸𝟷. 𝙼𝚒𝚛𝚒𝚗𝚍𝚊

293 91 2
                                    

≪•◦ ❈ ◦•≫

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

≪•◦ ❈ ◦•≫

Musim dingin merupakan saat-saat yang paling Mirinda benci. Selain karena setiap tempat tertimbun salju, ia pun menjadi lebih sering lapar. Mungkin tidak akan menjadi masalah besar jika ia dan ibunya memiliki rumah bagus dan makanan yang cukup. Ah, mereka bahkan tidak punya rumah.

"Ibu, aku lapar," kata Mirinda sambil memegangi perutnya. Rahangnya terus bergetar dan bibirnya pun tak lagi merah. Menandakan ia sangat kedinginan.

Tinggal di tenda lusuh dan dikelilingi sampah benar-benar membuat musim dingin semakin mengerikan. Tapi untungnya Mirinda masih memiliki seorang ibu yang sangat menyayanginya. Bagi Mirinda, semua akan baik-baik saja selama ia masih bersama ibunya.

"Ibu akan mencarikan makanan untukmu. Kau tunggu di sini." Pelukan hangat dari ibunya terlepas, digantikan dengan senyuman yang tak kalah hangat. Namun, Mirinda tidak mau sendirian di saat dingin seperti ini.

"Aku tidak mau sendirian," katanya.

Mereka tinggal tak jauh dari pasar. Kadang, Mirinda berharap saat ia dewasa nanti, minimal ia bisa berjualan di pasar. Tidak perlu punya harta berlimpah asal ia bisa makan setiap hari. Dan yang paling utama, bisa membahagiakan ibunya.

Begitu sampai di pasar, tidak begitu banyak orang yang berlalu-lalang. Tidak juga banyak pedagang yang masih berjualan di tengah cuaca dingin seperti ini. Kebanyakan hanya pedagang sayur dan buah.

Di antara semua makanan yang dijual, ada yang satu yang begitu Mirinda inginkan. Roti. Ia pernah memakannya sekali. Roti bekas yang hanya tersisa seperempat dan rasanya pun sudah mulai masam. Namun, bagi Mirinda rasanya masih sangat enak. Untungnya juga ia tidak sakit perut setelah memakannya.

"Ibu, aku ingin makan roti," katanya. Sebenarnya Mirinda tidak sering meminta ini itu sebab ia tahu ibunya tidak memiliki banyak uang. Bahkan, mereka sering tidak memiliki uang sama sekali. Hanya saja, kali ini ia sudah tidak mampu lagi menahannya. Mirinda hanya anak kecil berusia sepuluh tahun yang sama seperti anak lain.

"Permisi, Tuan. Apakah aku bisa meminta sedikit roti untuk anakku?" tanya Ibunya dengan sopan ketika mereka masuk ke sebuah toko roti yang tidak terlalu besar.

Mirinda suka tempat ini. Tempat hangat yang wangi. Ia sudah membayangkan dirinya memakan banyak roti hingga perutnya penuh. Pasti akan menyenangkan, pikirnya.

Penjual roti itu sendiri adalah seorang pria tua yang buncit dengan janggut panjang menutupi leher. Ekspresi tak bersahabat terpasang di wajah keriputnya. Ia berhenti menyusun roti, lalu memandangi Mirinda dan ibunya dari atas hingga ke bawah. Dan, wajahnya semakin tidak ramah.

"Apa kau punya uang?" Penjual roti seolah-olah tidak bertanya. Sebab ia sudah tahu jawabannya. Ia hanya menghina dengan cara halus. Mirinda kecil tahu itu tanpa perlu berpikir keras.

"Ibu, ayo kita pergi saja. Aku sudah kenyang," ajak Mirinda. Ia menambahkan senyuman manis agar ibunya percaya. Tapi, ibunya tidak akan pernah percaya itu. Mirinda tidak pandai berbohong.

The Lost Castle [END]Where stories live. Discover now