𝟷𝟾. 𝙲𝚑𝚊𝚘𝚜

301 96 1
                                    

≪•◦ ❈ ◦•≫

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

≪•◦ ❈ ◦•≫

Gagak-gagak itu terus menyerang tanpa henti. Florence dan Selena yang melihat pun tidak tahu harus melakukan apa. Kedua gadis bersembunyi di balik pohon agar tidak ikut diserang, sembari menahan rasa takut membesar dalam diri mereka.

Hingga, tak lama kemudian suara peluit terdengar. Axel telah meniupnya untuk meminta bantuan. Dion dan Odo datang pertama. Sayangnya, mereka juga ikut kewalahan. Meski sudah ada gagak yang mati, gagak lain masih terus berdatangan. Tuan Edward berteriak dari jarak beberapa meter saat ia tiba bersama Joseph, meminta mereka untuk berhati-hati dengan petasan yang dilemparnya.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Selena yang langsung keluar dari tempat persembunyian ketika gagak-gagak itu telah pergi.

"Kami terluka. Sudah jelas kami tidak baik-baik saja," jawab Dion. Wajahnya terluka. Florence menghembuskan napas kasar, sebal dengan pertanyaan bodoh Selena.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Bagai tidak merasa sakit karena luka di beberapa bagian, Axel mendadak meneriaki Florence dengan pertanyaan.

"Hey, kendalikan emosimu." Arthur mengingatkan.

Axel mengatur napasnya. Lalu memejam agak lama. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan nada lebih lembut setelah membuka mata.

"Kau tidak cocok dengan nada bicara seperti itu," kata Florence. Alih-alih menjawab ia malah bicara mengenai nada bicara Axel yang menurutnya terlalu dibuat-buat.

"Kurasa kita mendapat anggota tambahan," kata Dion, lalu tersenyum saat matanya bertemu dengan mata Florence.

"Ya, kita harus mengatur ulang kelompok kita." Tuan Edward memandangi mereka satu per satu. "Sebaiknya kita bagi jadi dua kelompok saja," lanjutnya. Terlalu berbahaya jika satu kelompok hanya terdiri dari dua atau tiga orang.

"Axel, Arthur, Jack, Odo, dan Florence pergi ke timur. Lalu, Dion, Selena, Joseph, dan aku akan pergi ke barat."

Raut Selena berubah murung. Dapat Florence tebak dengan mudah, gadis itu sedih karena berpisah dengan Axel dan Arthur. Dan, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Florence pun tersenyum. Begitu senang melihat orang yang tidak disukainya merasa sedih. Namun, sebelum ada yang melihat Florence buru-buru mengembalikan ekspresinya seperti biasa.

"Apakah tadi kau tersenyum?" bisik Axel. Mereka kini sudah mulai melanjutkan perjalanan.

Florence terkejut. Pipinya memerah dan ia mulai salah tingkah. Langkahnya pun ia percepat. Tidak ingin berjalan beriringan dengan Axel. Orang itu selalu senang mengganggunya.

"Sepertinya iya. Kau tampak menarik saat tersenyum. Mengapa kau terus bertahan dengan ekspresi menyebalkan itu?" Axel kembali menyamakan langkah mereka.

"Pura-pura bahagia tidak akan menyembuhkan luka."

Axel terdiam setelah itu. Membenarkan ucapan Florence. Ia sudah begitu lama pura-pura bahagia. Namun, ia tak pernah sedikit pun melupakan rasa sakitnya.

The Lost Castle [END]Where stories live. Discover now