𝟶𝟸. 𝚃𝚢𝚛𝚎𝚕𝚕

787 175 17
                                    

≪•◦ ❈ ◦•≫

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

≪•◦ ❈ ◦•≫

Setelah berjam-jam, akhirnya Axel tiba di depan gerbang tinggi Asrama Tyrell. Wajahnya tak memancarkan kesenangan sama sekali sejak masih di rumah tadi. Ia sangat tidak ingin tiba di tempat itu. Ditambah rasa kantuk yang sulit ia atasi. Sebab, kurang tidur.

Di sisi kanannya ada ibunya yang tengah menahan tangis. Sepanjang perjalanan tadi ibunya itu terus mengajaknya bicara. Mengingatkannya akan hal-hal yang tidak boleh Axel lupakan, salah satunya makan. Padahal, Axel yakin seratus persen bahwa di sana nanti semua jadwal para siswa sudah diatur, termasuk makan. Tidak mungkin Axel akan terlambat makan saat berada di sana. Axel yang suasana hatinya sedang kacau pun hanya menjawab singkat dan seadanya.

Ayahnya tidak ikut mengantar. Alasannya tentu karena sibuk. Padahal, Axel sedikit berharap ayahnya itu mau ikut mengantarnya. Mungkin, jika begitu ia masih bisa sedikit menerima keadaan dan menganggap ayahnya melakukan itu semua karena menyayanginya bukan karena ingin menghukumnya. Sayangnya, Axel sering lupa akan kenyataan bahwa ia tidak boleh berharap sedikit pun pada ayahnya.

Sebelum masuk melewati gerbang yang tinggi besar di hadapannya, ibunya terlebih dahulu memeluknya dengan erat sambil menangis. Axel membalas pelukan ibunya sambil berusaha menahan air matanya. Tidak ingin meneteskan air mata di tempat itu. Takut jika ada yang melihatnya menangis. Axel bisa sangat malu. Dan, itu akan semakin memperburuk keadaan.

"Jangan lupa untuk meneleponku. Pastikan kau makan dengan teratur," pesan ibunya untuk yang kesekian kali.

Axel melepaskan pelukannya. "Bisakah kau menawariku tumpangan untuk pulang hari ini, Mom?" Axel tahu itu konyol. Namun, ia benar-benar frustrasi. Tak ada yang bisa menahannya untuk tetap di rumah. Semua menginginkan ia pergi dan menetap di Tyrell.

Ibunya menggeleng. "Maaf, Sayang. Sulit sekali membuat ayahmu mengubah keputusannya." Wanita itu kemudian menyeka air matanya. "Kau hanya perlu menunggu. Tidak akan lama. Asrama ini bagus. Kau akan betah di sini. Bersabarlah."

Kalimat itu lagi. Axel bosan mendengarnya. Dan, sepertinya memang sudah tidak ada harapan sama sekali. Satu-satunya yang bisa Axel lakukan adalah mencari kesenangan di tempat ini agar ia tidak mati muda karena terlalu bosan.

Axel menyudahi acara perpisahan itu. Ia menyeret kopernya lalu masuk setelah berpamitan dengan ibunya yang kembali menangis.

Asrama Tyrell berdiri kokoh di atas tanah yang sangat luas. Bangunan itu tampak kuno di mata Axel. Ada banyak pilar-pilar besar dan beberapa patung manusia. Ada pula kolam kecil dan ditengahnya terdapat patung wanita yang tengah memegang kendi berukuran sedang dan bisa mengeluarkan air, letaknya berada di tengah taman. Namun, tak dapat Axel pungkiri bahwa bangunan itu indah sekali. Ia merasa seperti kembali ke masa lampau. Ada lapangan yang sangat luas, taman yang indah, dan di belakang bangunan itu terdapat hutan yang tampak lebat. Udaranya di sana terasa sejuk dan segar. Sangat berbeda dengan udara kota yang biasa Axel hirup.

The Lost Castle [END]Where stories live. Discover now