𝟶𝟿. 𝙲𝚒𝚊𝚗𝚗𝚊 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚗𝚍

388 119 9
                                    

≪•◦ ❈ ◦•≫

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

≪•◦ ❈ ◦•≫

"Sebentar lagi kita akan sampai," ujar Arthur. Tidak tahu seberapa panjang jalur yang ditempuh, hanya perlu terus bergerak lurus ke Utara untuk sampai ke Pulau Cianna. Mengenalinya pun cukup mudah. Sebab, Pulau Cianna menjadi pulau pertama yang akan dijumpai.

Arthur pernah beberapa kali melewati Pulau Cianna saat masih remaja. Sudah pasti tidak pernah mampir. Sebab, bukan lagi rahasia jika manusia tidak bisa masuk ke sana. Tidak ada yang ingin mengambil risiko ketika sudah tahu kebenarannya—kecuali mereka bertiga.

"Aku jadi penasaran, sebenarnya sihir semacam apa yang bisa membuat manusia tidak bisa masuk." Axel bertanya-tanya.

"Kudengar, sihirnya berbeda-beda. Ada yang pernah dikejar hewan berukuran raksasa, nyaris terbakar, bahkan ada juga yang mengalami kejadian mistis. Kita benar-benar tidak bisa tahu apa yang akan kita hadapi nanti."

"Sebenarnya siapa yang menciptakan sihir di pulau itu? Pasti orang yang pelit." Axel bertanya lagi.

"Entahlah. Menurut cerita dari orang-orang, pulau itu dulu dihuni oleh seorang penyihir. Penyihir itu tidak ingin hartanya dicuri. Karena itu ia melindungi pulau itu dengan sihir."

"Aku ingin mencoba mengambil sedikit jika kita berhasil masuk." Axel berujar penuh percaya diri. Membuat Florence memutar bola mata, malas dengan kelakuan Axel.

"Kita sampai."

Matahari masih bersinar terang ketika mereka sampai. Sekilas, pulau itu tampak biasa, sama seperti pulau pada umumnya. Hanya saja, pulau ini cukup cantik rupanya. Pasirnya yang berwarna putih tampak berkilau terkena cahaya mentari. Bebatuan yang berjejeran di pinggiran pun terlihat rapi. Pasti akan menyenangkan bersantai di sana, pikir Axel. Sudah beberapa bulan ia tidak pergi ke pantai.

Lulu tampak girang ketika mereka sampai. Ekor dan tubuhnya bergerak-gerak, mata gelapnya tampak berbinar. Ia menjadi yang pertama turun dari perahu ketika sampai. Lulu menggonggong bahagia sambil berjalan-jalan di atas pasir.

Pulau itu sunyi. Hanya deburan ombak, kicauan burung, dan embusan angin sejuk yang masuk ke telinga mereka. Benar-benar menenangkan.

"Jadi ini pulaunya?"

Alih-alih seram, pulau itu bahkan tidak terlihat berbahaya sama sekali. Hingga mereka maju tiga langkah ke depan.

Udara terasa begitu dingin. Sampai-sampai, asap bisa keluar dari mulut orang yang bicara atau sekadar bernapas. Florence sudah menggunakan pakaian yang sangat tebal. Namun, yang membuatnya hangat bukanlah pakaian itu. Melainkan, tangan yang menggandeng tangannya. Tangan itu sama besar dengan tangannya yang berlapis sarung tangan merah muda.

Semua yang Florence lihat kali ini seperti pernah ia alami. Ya, Florence ingat kejadian ini. Mana mungkin juga ia melupakannya. Florence memandangi sosok yang menggandeng tangannya. Seorang wanita berambut pirang berjalan beriringan di sebelahnya, mirip dirinya. Wajah wanita itu seperti dirinya. Hanya saja, versi usia tiga puluhan. Jelas ... ia kenal dengan wanita itu. "Ibu."

The Lost Castle [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang