Kamu Suka Dia

357 64 94
                                    

Seorang gadis duduk di depan kanvas kosong sudah hampir sepuluh menit, tetapi benda putih itu masih belum juga bertorehkan cat. Senyum merekah pada wajah tersebut kala melihat seorang pemuda berkacamata yang menuntun jalannya bimbingan belajar di sana.

Dia menggigit bibir bawah, menahan senyum agar tidak kembali tampak saat yang diamati memandang ke arahnya. Terlihat nama di seragam pemuda berambut cokelat gelap tersebut; Langit Bima Syahputra.

Usai menyisipkan helai rambut bergelombang itu ke belakang telinga, si pemilik lesung pipi kembali berbinar. Subjek yang diperhatikan terus saja menjelaskan warna dan teknik melukis dengan tersenyum ramah sampai mata kecilnya tertutup. Sesuatu di dalam dada akan meledak kapan saja, bahkan dapat dia rasakan wajah mulai memanas.

“Kamu suka dia, Aila?”

Terdengar pertanyaan yang berhasil membuat tubuh si pengamat membatu. Dia mengeratkan pegangan pada kuas, bahkan tampak sedikit bergetar pada jari-jemari pendeknya.

Gadis ber-dimple menoleh ke kiri. Terlihat seorang pemuda tersenyum sampai tampak gingsul di sisi kanan atas bibir tipisnya. Sosok tersebut menggerakkan kuas di tangan sampai cat kuning mengenai pipi putih itu.

Aila mengerutkan kening, alis bertaut, dan menggigit bibir bawah semakin kuat. Setelah meletakkan palet ke meja di sebelah bangku, dia mengangkat tangan mendadak, diiringi bunyi gesekan sepatu sekolah hitamnya, membuat orang di depan sana mengalihkan fokus.

“Kak Langit, ijin ke UKS sama dia!” teriak Aila dan menunjuk si pemuda bergingsul.

“Silakan.”

Mendengar jawaban itu, Aila bangkit dari duduk dan menarik lengan besar orang yang ada di sebelahnya agar ikut.   

Sampai di belakang ruangan klub seni, Aila melepaskan tangan si pemuda bergingsul. Dia menatap tajam dan meremas rok abu-abu yang dikenakan cukup erat.

“Kamu tau dari mana nama aku?” tanyanya dengan mengacungkan telunjuk.

“Altair Rigel Andesva,” sahut si pemuda bergingsul dan mengulurkan tangan.

“Ha?” Aila melongo, tetapi kembali memasang wajah garang dengan mengulum bibir geram.

“Itu nama saya. Panggil aja Alta. Salam kenal, Aquila Bilqis Kayesa.” Alis tebal itu naik turun dengan netra cokelat mengarah ke tangan yang masih terulur.

Si pemilik nama menggeleng pelan, mengerucutkan bibir lalu berbalik, hendak beranjak dari sana. Namun, tangan ramping itu berhasil dicekal Alta. Dalam sekali tarikan, Aila maju beberapa langkah sehingga kepala menabrak dada bidang pemuda berambut legam tersebut.

Aila meringis dan mundur. Dia menengadah, melihat wajah Alta sambil mengusap dahi. “Kamu ini kenapa? Aku enggak kenal kamu!” protesnya lalu berusaha menarik tangan.

“Saya belum selesai bicara sama kamu,” sahut Alta dan melepas genggaman Aila sampai gadis itu hampir terjatuh ke belakang.

“Saya tau nama kamu karena udah tiga hari berturut-turut kita duduk sebelahan di klub, setiap hari diabsen dan anak-anak lain panggil kamu Aila. Saya murid baru dari kelas XI C dan mulai ikutan klub minggu ini. Mungkin karena kamu terlalu fokus sama Kak Langit, mangkanya enggak lihat saya,” imbuhnya lagi dengan terus menatap iris hitam si lawan bicara.

Sambil mengelus pergelangan tangan, Aila memegang rok yang dikenakan lebih erat dari sebelumnya. “Terus, kenapa kamu bilang gitu di ruang klub tadi?” tanya gadis ber-dimple, kemudian menggigit bibir bawah.

Helaan napas terdengar dari Alta. Dia maju sampai jarak di antara dirinya dan Aila hanya beberapa senti saja. Untuk bisa menyetarakan wajah dengan si lawan bicara, pemuda bergingsul itu terpaksa sedikit menekuk lutut.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now