Jangan Salah Paham ....

56 22 30
                                    

Seorang pemuda duduk di tepi atap gedung, tampak pada pangkuan ada sekotak cokelat berbentuk hati ukuran sedang. Sambil mengulum senyum dia terus mengayunkan kaki, membiarkan tumit mengenai tembok bangunan tempatnya mendaratkan bokong.

Suara orang melangkah terdengar dari belakang, membuat pemuda itu merekahkan senyum sampai pipi tidak terlalu gembilnya naik. Dia berdiri, memutar arah dan melihat si pendatang.

"Zidan!" pekik yang baru saja tiba dengan membuka mulut lebar.

Sementara itu pada kantin sekolah, Aila menyeruput teh dingin di depannya dengan nikmati sambil memainkan ponsel. Namun, kegiatan tersebut terhenti karena suara tawa pelan dari seorang gadis di sebelah terdengar.

Aila menoleh, mengerutkan kening, lalu mengintip buku sketsa yang ada pada tangan sang sahabat. Dia mendelik ketika terdapat beberapa rencana ada pada lembaran tersebut.

"Kamu sebenarnya ini kenapa, Indah? Ayo, tobat!" ujarnya dengan menggeleng pelan.

Si gadis berambut sebahu menghadap Aila, memegang bahu itu dan mengguncang pelan. Dia menceritakan tentang apa yang telah didapati tentang Zidan waktu tidak sengaja bertemu dengan pemuda tersebut  di toko buku. Mata gadis berlesung pipi membola, sedikit meringis, kemudian menyentil dahi Indah sampai memerah.

"Sakit, Ai!" rintih Indah dengan mengusap kening.

"Kamu ini kenapa, sih? Zidan itu enggak beneran suka bacaan yang kayak kamu suka, tapi dia berusaha buat—" Aila mengulum bibir, menutup netra lalu mendesis pelan. Hampir saja, pikirnya. Seketika wajah Alta terngiang dalam ingatan.

"Zidan mau saya tetap rahasiain ini. Jadi, kamu juga jangan kasi tau Indah, ya?"

Itulah yang dikatakan Alta ketika mereka berbincang saat jalan pulang dari laut kemarin. Aila kembali membuka mata, mendapati Indah tengah mengerutkan kening sambil memandangnya dan berkedip beberapa kali.

"Buat apa?" tanya gadis berambut sebahu.

Mulut Aila terbuka sebentar, menutup lalu menelan ludah berat. Dia menggaruk belakang telinga, menutup netra erat, kemudian berujar, "Buat ... buat apa, ya? Koleksi aja mungkin, tapi enggak dibaca."

Bibir Indah berkedut, ingin memaki, tetapi berusaha tenang mendengar penuturan sang sahabat. Usai menggeleng pelan, dia kembali fokus pada buku sketsa yang dibawa.

Aila mengembuskan napas, mengelus dada sebab merasa berhasil tidak mengungkapkan apa yang seharusnya disembunyikan seperti yang Alta mau. Dia mengulum bibir, menggeser bokong lebih ke kanan, hendak mengintip lagi apa yang tengah Indah lakukan sekarang.

Netra legam itu membola, mendapati deretan kalimat sama persis seperti di surat laci meja pagi ini yang diberikan oleh si pemilik gingsul.

"Indah, kamu yang tulis surat untuk Alta pagi tadi?"

Pertanyaan itu membuat sang pemilik nama menoleh, menyunggingkan senyum tanpa dosa sampai terdengar, hehe dari mulutnya.

"Kenapa?" Aila kembali bertanya, kali ini mendapati reaksi serius dari lawan bicaranya tersebut.

Indah mengembuskan napas lelah, memegang kening lalu memegang bahu si pemilik lesung pipi hingga sedikit terdorong ke belakang. "Kamu enggak lihat, kalo Zidan itu sebenernya suka Alta. Dari sikap dia yang enggak mau kasi Alta duduk di samping aku, Ai. Dia cemburu karena suka Alta, aku jamin itu," terang gadis berambut sebahu dengan mengangguk sekali, pertanda sangat ingin perkataannya dipercaya oleh Aila.

Setelah menghempaskan tangan Indah dari sisi tubuh, Aila memukul pelan kepala itu dengan ponsel. "Jadi kamu tulis surat itu untuk mereka ketemuan?" tanyanya dan mendapatkan jawaban anggukan.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now