Beberapa Hal yang Ditunjukkan

52 22 18
                                    

Seorang pria paruh baya mengerutkan kening, menatap layar ponsel yang sejak tadi menyala akibat pesan masuk beruntun dari nomor yang tidak dikenal. Dia terus membetulkan bokong agar nyaman duduk di kursi kerja lalu menaikkan sedikit kacamata.

Mulai sosok hampir berumur setengah abad itu menggulir layar perlahan. Terdapat gambar lampu kota dari atas bukit yang tinggi, menampakkan sosok cantik berdiri tengah meletakkan tangan ke pagar pembatas lalu melihat kamera. Dia tersenyum, sangat lebar hingga lubang kecil pada pipi gembil itu terlihat jelas. Rambut gelombang yang diikat asal di sana menambah kesan manis serta polos pada wajah tersebut.

Ini Aila, kelihatan cantik, 'kan? Om, dia rasi yang luas tanpa perlu tiru siapa pun. Mimpinya sederhana, menjadi gadis tanpa jeruji sudah cukup untuk buat dia ketawa.

Sesuatu terasa nyeri pada dada sang pengamat gambar kini ketika membaca caption. Lagi, banyak gambar kembali masuk, menampilkan beberapa foto lain yang entah kapan diambil oleh si pengirim. Salah satunya, Aila yang merentangkan kedua tangan di tepi pantai, tersenyum lebar saat memakan permen kapas merah muda lalu menangis haru ketika diminta untuk meniup lilin ulang tahun.

Itu beberapa momen saya sama dia, Om. Aila bahagia dengan dia yang bebas. Anak om adalah rasi saya yang cantik dan luas. Orang lain pernah saya pukul karena buat dia nangis. Tapi ... gimana cara saya marah sama pendidik rasi saya itu?

Helaan napas terdengar dari sosok berkacamata paruh baya tersebut. Dia memijat kening, merasa pusing sekarang. Mulai dia menelungkup ponsel agar layar menghadap meja. Namun, notifikasi kembali masuk ke sana yang membuatnya terpaksa membuka pesan dari nomor tidak dikenal itu.

Sekarang, Om bisa jemput dia? Kayaknya dia udah mau tidur. Saya bisa jaga dia dari hewan buas atau orang jahat. Tapi, sedikit susah kalo melawan diri sendiri, 'kan?

Tawa pelan berhasil lepas dari sang pembaca pesan. Dia menggeleng pelan, tidak mengira bahwa anak jaman sekarang bisa sangat mudah mengungkapkan perasaan mereka seperti si pengirim di seberang sana.

Sementara itu, pada tempat lain. Alta melirik Aila yang masih betah menatap langit. Dia tersenyum geli, mengingat pesan terakhir yang sempat dikirim ke ayah gadis ber-dimple. Meski tahu tindakan tersebut salah, tetapi jika berdiam diri saja sepertinya tidak akan memperbaiki konflik yang terjadi.

"Alta," panggil Aila lalu menoleh.

"Hm?" sahut si pemilik nama dan menatap netra itu dalam.

"Kenapa kamu masuk klub seni lukis?" tanya gadis berlesung pipi dengan mendaratkan kepala ke lutut yang ditekuk.

Alta diam sebentar, membuang pandangan ke langit dan menggerakkan lengan agar semakin menarik dengkul. "Kamu sendiri, kenapa?" ucapnya masih tidak mau membalas mata si cantik.

Sambil memajukan bibir, Aila mengangkat kepala, mengikuti arah pandangan Alta lalu menjawab, "Karena beberapa hal yang bisa diabadikan melalui cat dan kanvas itu kelihatan cantik."

Mendengar penuturan tersebut, Alta mengangguk pelan. Mulai dia memusatkan atensi penuh ke lawan bicara, tersenyum tipis kemudian mengarahkan telunjuk ke pipi Aila, tetapi tidak sampai tersentuh.

"Kalo saya karena ini," ucapnya dan membuat si pemilik dimple menoleh.

Aila berkedip beberapa kali, merasakan sentuhan dari jari dingin Alta yang ada pada pipinya. Dia menyingkirkan dengan meraih tangan besar itu. "Karena aku?" tanyanya lalu melepaskan genggaman.

"Hm, waktu saya pertama kali pindah ke sini. Saya ketemu kamu di perpustakaan bareng dengan Indah. Kamu serobot antrian saya, terus enggak sengaja jatuhin buku yang dibawa. Sejak itu ... saya ikutin kamu karena lihat kalung yang kamu pakai masih sama kayak dulu," terang Alta jelas.

Aila hanya manggut-manggut, kemudian melepaskan pelukan pada lutut dan membiarkan kaki lurus begitu saja. Dia menumpang tubuh dengan kedua tangan pada sisi badan agak belakang. Mulai kembali sosok itu melihat ke atas, langit tampak berbintang hari ini, sangat cantik.

"Aila, waktu saya tinggal dua minggu lagi," ujar Alta  dan mengubah posisi duduk pada tikar bermotif buah itu dengan bersila.

Seketika hawa dingin berubah sedikit aneh, Aila menegang untuk beberapa detik. Kemudian, dia juga meniru posisi duduk Alta dan berhadapan dengan pemuda itu.

"Jadi?" tanyanya dengan sedikit hati-hati.

Alta menepuk jidat sendiri lalu menjentikkan jari ke dahi Aila hingga meringis pelan. "Apanya yang jadi? Kita buat perjanjian dalam dua bulan untuk kamu suka saya. Tapi, sekarang udah hampir habis, apa dengan begitu kita enggak akan kencan?" ujar si pemilik gingsul dengan mencebikkan bibir.

Usai mengelus dahi, Aila mengembuskan napas kasar. "Ya ... aku pikir dua minggu waktu yang cukup lama. Kita bisa lihat lagi nanti," jawabnya santai.

Alta menghela napas, merasa sedikit kesal karena Aila seperti tidak menanggapi keseriusan perjanjian itu. Bagaimanapun misi yang dibuatnya tersebut harus berhasil, dia pemuda ambisius dengan tekad yang kuat meski berubah menjadi jelly jika menyangkut hantu atau hal semacamnya.

Suara semak dari belakang membuat Alta dan Aila menoleh bersamaan. Tampak seorang pria paruh baya dengan memegang senter dan berdiri tegak meski hampir tersungkur sebab kayu mengenai kaki. Dia menatap Aila dengan wajah tanpa ekspresi, berjalan mendekat bersamaan sang Anak yang ikut berdiri.

Alta tersenyum tipis, berdiri lalu menatap Aila yang entah sejak kapan melihatnya. Sambil mengangguk pelan, netra cokelat itu mengarah ke sang pendatang yang sekarang tengah berhenti tidak jauh dari tempat mereka berpijak.

Seolah mengerti maksud pandangan Alta, Aila menggigit bibir, melepaskan selimut yang tengah dipegang ketika mengangkat bokong, kemudian mulai melangkah, berhadapan langsung dengan sang Ayah.

Si pemilik lesung pipi menatap netra yang ada pada balik kacamata tersebut lalu membuang asal sambil mengeratkan pegangan pada baju kaus panjang yang dikenakan. Aila menunduk, menggoyangkan sebelah kaki, kemudian mengangkat wajah lagi.

"Ayah ... maaf—"

Belum sempat kalimat itu selesai, sang Ayah sudah lebih dulu memeluk tubuh mungil Aila hingga wajah sang empu terbenam dalam dada. "Engga, Aila. Seharusnya Ayah yang minta maaf. Aila ... kamu berhak bahagia dengan cara kamu. Maaf karena udah egois dan menuntut kamu untuk jadi seperti kakak dan bunda kamu, Aila ...."

Aila membalas pelukan erat, sesuatu terasa menghangat dalam dada sekarang. Dia menangis, tersedu sampai baju sang Ayah basah. Jangan ada kalimat lagi, si pemilik lesung pipi tidak sanggup membuka mulut meski sekadar mengatakan terima kasih. Gadis itu meremas pakaian bagian punggung sang pemeluk, terus membiarkan sungai kecil mengalir dari netra legam cantiknya tersebut.

Sementara itu, Alta yang mengamati pemandangan di sana hanya mengulas senyum sambil menelusupkan tangan ke saku celana. Dia langsung berdiri tegak ketika mata bertemu ayah Aila, membungkuk sedikit sekadar memberi hormat. Mata beriris cokelat sempat membola saat bibir pria paruh baya yang diamati mengatakan beberapa kata yang membuatnya kembali melengkungkan bibir ke atas.

"Sama-sama, Om," bisik Alta dengan mulut yang dibuka agak lebar. Hingga pelafalan dapat dilihat oleh sang lawan bicara.


.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak, share dan follow juga manteman UwU UwU 😗♥️
.
.
Tetap jaga kesehatan ya manteman 🤗❤️❤️

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now