Kenapa Semua Orang Aneh Hari Ini?

84 26 28
                                    

Seorang gadis mengeratkan pegangan pada piyama yang dikenakan. Dia menunduk, enggan melihat orang di depannya. Bibir mungil itu digigit pelan, netra mengarah ke sembarang arah, tetapi masih dengan wajah tidak diangkat.

"Aila, apa masalah kamu sekarang? Nilai ulangan rendah kayak begini dan kamu harap ayah akan kasi tanda tangan!"

Suara tinggi di balik meja kerja membuat si pemilik nama terpejam erat. Mulut sudah bergetar, menahan tangis yang bisa saja meledak jika membuka mata.

Pria paruh baya di sana mengembuskan napas lelah, merasa kesal setengah mati, bahkan tampak merah pada bola mata yang mirip dengan sang Anak.

"Maaf, Ayah ... nilai sembilan puluh masih belum cukup ...," lirih Aila dan mengangkat wajah.

"Ayah mau kedepannya kamu lebih giat untuk dapat nilai sempurna." Pria paruh baya itu pun pergi dari sana, meninggalkan Aila yang masih berdiri dengan mata berlinang.

Sosok berlesung pipi menghela napas, menutup netra dan satu butir lolos dengan bebas melewati wajah tembamnya. Dia melihat ke atas dengan tangan mengepal, ingin marah, tetapi bingung ingin melampiaskan ke mana.

"Ai rindu ayah yang dulu, sebelum kepergian dia," gumam Aila menutup mulut dengan punggung tangan sambil tersedu.

Sementara di tempat lain, Alta duduk berhadapan dengan sang Ayah pada ruang tamu. Tatapan yang ditujukan sosok paruh baya berambut cokelat gelap itu sama sekali tidak membuat si pemilik gingsul ciut sedikit pun.

Terlihat Alta memainkan pena di meja, mengetuk beberapa kali tanpa membalas pandangan sang lawan bicara, bahkan sang Ayah sampai menghela napas untuk menghadapi anak sulungnya tersebut.

"Ayah dapat kabar kamu berantem kemarin di sekolah, bahkan sampe diskors enggak boleh datang sampe dua hari. Kamu ini kenapa, Al?" Sang Ayah memijat kening, masih belum tidak siap dengan jawaban si lawan bicara.

Alta menghentikan tangan, melihat pria paruh baya di depannya lalu meletakkan kembali pena pada meja. "Apa tunggu saya buat masalah, Ayah baru peduli?" tanya si pemilik gingsul dengan menaikkan sebelah alis.

Lagi, embusan keluar dari mulut sang Ayah. Dia berusaha meraih tangan Alta, tetapi mendapatkan penolakan ketika pemuda itu menarik lengan.

"Jangan seolah peduli, Ayah udah ninggalin saya dan Tari demi pelacur itu!" Alta berdiri, sempat memukul meja keras lalu beranjak dari sofa.

"Dia ibu tiri kamu, Al!"

Perkataan itu berhasil membuat langkah Alta terhenti, berbalik, dan menatap wajah sang Ayah dengan rahang yang sudah mengeras.

"Tapi saya enggak pernah anggap dia. Bagi saya ... cuma ibu yang pantas untuk dipanggil 'ibu' dan bukan dia, Yah!" Bahu Alta naik turun, menahan emosi yang membuncah, bahkan tampak tangan mengepal sampai buku-buku terlihat.

Sang Ayah berdiri, mendekati Alta dengan wajah memerah. Dia membuang pandang sambil menghela napas sampai akhirnya kembali melihat mata cokelat sang Anak.

"Al, ibu udah pergi tujuh tahun lalu, kamu harus terima itu," ujar sang Ayah dan memegang bahu kokoh si lawan bicara.

Alta menunduk, tetapi kepalan tersebut semakin mengerat, seolah dapat melukai sang empu. "Ibu udah meninggal, saya tau itu dan semuanya karena Ayah ...," lirih si pemuda bergingsul lalu menepis pegangan sang Ayah.

"Al, kamu-"

Perkataan tersebut tercekat karena Alta sudah lebih dulu berlari keluar dari ruang tamu, membuat yang mengajak bicara terdiam dan memijat pelipis lelah.

***
Seorang pemuda tengah memilih minuman dingin yang ada di lemari es pada minimarket yang berada tepat depan lorong komplek perumahan. Dia memegang dagu, seakan berpikir keras dengan bibir maju dan kening berkerut seperti seragam belum disetrika.

Saat mata tertuju ke arah susu cokelat kotak, dia berusaha meraih benda itu yang hanya tersisa satu lagi. Namun, upaya itu sia-sia, sosok berambut ikal tersebut kurang cepat karena ada orang lain yang datang secara mendadak, bahkan tidak sengaja mendorongnya sampai terduduk ke kanan.

"Oi, Alta! Kalo mau gelut jangan di sini!" protesnya dan membuat sang pelaku memandang.

"Sorry, Zidan."

Si pemilik nama hendak marah, tetapi melihat raut wajah Alta yang seperti banteng mengamuk, mampu menghilangkan nyali pemuda itu. Dia berdiri perlahan, mendekati si pemilik gingsul dan menepuk bahu kokoh tersebut.

"Tegang banget, lemesin dulu, Alta," ucapnya dan berusaha membuat si teman sekelas santai.

Alta menutup mata erat bersamaan embusan udara keluar dari hidung secara perlahan. Dia memegang kotak susu lebih kencang, tetapi masih bisa dikendalikan sehingga tidak pecah.

"Kamu kenapa?"

Pertanyaan itu dijawab gelengan oleh Alta. Pemuda begingsul tersenyum manis lalu beranjak untuk menuju ke kasir.

Si pelontar tanya menggaruk tengkuk, menaikkan bahu seolah tidak peduli, tetapi malah mengikuti Alta tanpa belanja apa pun. Kemudian, keluar dari sana dan beriringan bersama si pemilik gingsul.

Zidan melirik ke kiri, memperhatikan si teman sekelas yang tampak menyedot minuman yang sempat ingin dia beli. Pada menit selanjutnya, mata beralih ke jalanan, terlihat seorang gadis berambut gelombang mengenakan piyama karakter bulan dan bintang berwarna biru gelap.

"Ada Aila, tuh!" jelasnya sambil menunjuk ke arah pendatang. Namun, ketika Zidan menoleh ke tempat si lawan bicara, dia hanya mendapati angin malam berembus.

Terdengar suara langkah kaki melaju cepat, membuat Zidan berbalik. Tampak Alta berlari menjauh dari tempatnya dan untuk kedua kalinya, tingkah pemuda itu mendatangkan banyak tanya ke si pemilik rambut ikal.

Tidak cukup sampai di sana, Zidan kembali dibuat terkejut karena Aila melajukan tungkai saat dirinya hendak kembali melihat ke depan, bahkan ulah si pemilik lesung pipi itu hampir menyebabkan Zidan terjatuh.

"Altair Rigel Andesva!" teriak Aila dalam perjalanan menyusul pemuda bergingsul.

Zidan menggeleng, berkedip beberapa kali lalu menggaruk tengkuk. "Kenapa semua orang aneh hari ini," keluhnya pelan.

.
.
.
Halo semuanya!! Jangan lupa tinggalkan jejak, follow dan sharenya juga ya manteman UwU UwU 😗♥️

To Be Your Starlight [Terbit✓]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt