Surat Laci Meja

59 22 24
                                    

Bersama dentingan detik jarum jam, Alta mengetuk kuku ke meja, duduk di depan sana sambil menatap foto polaroid yang sempat dirinya ambil bersama Aila usai mengobati tangan. Senyum terlukis jelas di wajah tampan beralis tebal tersebut. Pose dua jari si pemilik lesung pipi dengan wajah cantik menampakkan dimple cukup jelas.

"Saya pikir, Aila bahagia hari ini," gumamnya lalu membuka buku bersampul cokelat di atas meja.

Alta meletakkan foto pada bagian paling belakang sampul, kemudian kembali mengubah posisi tempatnya menulis yang sudah sampai ke tengah bagian buku. Dia mengambil pena bertinta pekat di mug bergambar bulan sabit serta bintang bernuansa malam.

Ibu, hari ini saya pergi bersama rasi saya ke makam Ibu dan laut tempat kita sering liburan dulu. Saya bahagia, dia juga kelihatan gitu. Tapi ... ada yang buat saya enggak ngerti tentang rasi saya yang cantik, Bu. Dia bilang ingin bebas, memilih mimpi tanpa dipaksa jadi orang lain.

Sebenarnya, apa yang rasi saya sembunyikan dari dunia luar? Gimana menurut, Ibu? Dia terlalu sempurna di mata saya sampai enggak bisa terlihat cacat sedikit pun.

Bu, saya harus jadi bintang paling terang untuk rasi saya, 'kan? Kalo begitu ... jika suatu saat nanti dia bersama orang lain, tapi dia tetap bahagia seperti hari ini. Saya harus ikhlas, 'kan? Sama seperti Ibu yang rela ayah menikah lagi.

Alta menghela napas usai tanda titik ditulis, menutup buku lalu menyandarkan punggung ke kursi. Dia berdiri, berjalan menuju pintu besar yang langsung membawanya ke balkon kamar. Sambil menyilangkan kedua tangan, si pemilik gingsul menutup mata, menghirup udara cukup banyak lalu melihat luka di pinggir telapak tangan yang diobati oleh Aila sore ini.

"Gimana caranya saya berhenti suka kamu, Aila?"

Sementara itu pada tempat yang berbeda, seorang gadis duduk di hadapan sang Ayah dengan meremas baju kemeja kebesaran yang melekat pada tubuh. Sudah hampir satu jam, tetapi pria paruh baya itu seakan enggan melepas anak gadisnya tersebut walau sekadar mengganti baju dan mandi.

"Kamu dari mana?"

Pertanyaan yang sudah tiga kali terdengar itu kembali membuat si gadis menelan ludah berat. Sulit rasanya jika sudah menjawab, tetapi tidak dipercaya sama sekali.

"Aila, kamu bolos pelajaran tambahan lagi?" tanya sang Ayah yang membuat Aila mengangkat kepala, kemudian menggeleng cepat.

"Kamu pulang-pulang basah, pake baju entah siapa dan pergi dari siang sampe malam. Apa aja yang kamu lakuin, Aila!"

Bentakan di akhir kalimat membuat sang Anak menutup netra erat, bahkan sedikit memundurkan wajah, seolah suara yang terdengar mampu merusak kedua gendang telinga.

Aila kembali menunduk, menatap ubin dengan perasaan gusar. Dia tidak mengira bahwa sang Ayah akan pulang secepat itu dari luar kota, seharusnya masih ada waktu satu minggu untuk pria paruh baya tersebut kembali ke bangunan megah bernuansa klasik di sana.

"Ai pergi sama Alta. Dia ajak ke pantai dan makam ibunya, kami beli makanan manis terus belanja beberapa pernak-pernik." Sambil mengatakan semua kegiatannya, si pemilik lesung pipi memilin jari pada pangkuan, tidak mau membalas pandangan sang Ayah yang terasa begitu dalam bak pedang menghunus dada.

Usai menghela napas, si pria paruh baya memijat kening pelan. Menengadah sambil mengembuskan udara lagi, dia melihat kembali sang Anak. "Kenapa kamu taunya main-main terus, Aila? Ujian sebentar lagi, seharusnya kamu giat belajar. Kalo kakak kamu-"

"Ai bukan kakak, Yah ...."

Suara itu bergetar bersamaan dengan remasan pada baju yang mengerat. Aila memang tidak mengangkat wajah, takut bendungan di netra akan jatuh jika memandang sang lawan bicara yang sepertinya tidak peduli dengan perasaan hati si pemilik lesung pipi.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now