Sebenernya Kayra itu Siapa?

46 23 18
                                    

Suara pena menusuk buku terdengar cukup kuat, bahkan beberapa kali yang dibuat gadis berambut sebahu. Dia menoleh dua orang di depannya dengan bibir maju, mata memicing lalu helaan napas pun terdengar jelas dari sosok itu.

Aila yang duduk bersebelahan dengan gadis itu memegang pergelangan ramping di sana. Berharap sikap buruk dari sang sahabat bisa berhenti, mengingat lagi jika mereka sedang berada di perpustakaan.

"Sebenernya Kayra itu siapa?" bisik Indah ketika bertemu mata dengan Aila.

Usai meringis pelan, Aila menggeleng dan mengalihkan pandangan ke dua orang di depannya kini. Alta dan Kayra tampak sibuk dengan buku latihan dan beberapa rumus yang ada. Si pemilik lesung pipi mengembuskan udara hingga poni terangkat, dia menumpang dagu lalu sibuk dengan catatan berisikan jadwal pelajaran besok.

"Dia itu temen belajarnya Alta yang baru," ujar Zidan dan membuat Indah yang ada di sebelahnya menoleh.

"Terus kamu ini apa? Kotoran hanyut? Kenapa harus dia? Atau kamu itu udah tolol karena keseringan makan micin?" keluh Indah dengan berbisik pelan.

Mata Zidan membola, dia menggeleng dan menutup netra erat. "Aku udah enggak sanggup ajarin dia, ibarat pasien itu, udah enggak tertolong," sahutnya lalu meraih buku yang ada di hadapan si lawan bicara. "Daripada pikirin mereka, sini aku ajarin rumus fisika. Pasti kamu belum tau, 'kan?" Si pemilik rambut ikal menarik bagian bawah kursi Indah, membuat gadis itu mendekat dan tidak sengaja memegang bahunya.

Zidan bertemu pandang dengan Indah dalam jarak yang sedikit. Segera dia berdiri cepat sampai si pemilik rambut sebahu hampir jatuh karena hilang keseimbangan. Pemuda itu memegang dada, mengambil napas tidak beraturan hingga bahu naik turun. "Ak-aku mau ke kamar mandi!" pekiknya dan langsung berlalu dari sana.

Tangan Indah mengepal, menutup mata erat dan bangun secara perlahan dengan sedikit mengibaskan rambut yang terurai ke belakang. "Aku pikir dia semakin hari, makin banyak ulah," gumamnya penuh amarah.

Di tengah kekesalan sang sahabat, Aila malah sama sekali tidak peduli. Dia sibuk pada buku catatan, tetapi melirik ke depan, tempat Alta berada bersama Kayra. Si pemilik dimple menggigit bibir bawah pelan, menunduk lalu mencoret asal pada baris yang sebenarnya tidak penting itu.

"Kalo yang ini kamu tinggal tarik garis dari sini terus ke titik yang itu," ujar Kayra dengan menunjuk ke buku latihan milik Alta.

Setelah mengambil penggaris, Alta mulai membuat grafik yang dimaksud dalam contoh soal ujian nasional tahun lalu. Dia menarik dengan pensil, menciptakan sebuah gambar lalu berdehem ketika merasa jarak dengan orang di sebelahnya bertambah dekat, kemudian menarik bangku berlawanan arah agar menjauh.

Si pemilik lesung pipi mengangkat wajah, sedikit mengerutkan dahi ketika mendapati Kayra memandang Alta cukup lama, tersenyum dengan menumpang dagu lalu berusaha untuk terus berdekatan dengan pemuda itu.

Aila gelagapan ketika bertemu tatap dengan yang diamati, segera mengalihkan netra sambil menggaruk tengkuk meski sebelumnya sempat tersentak sampai mata sedikit terbelalak.

"Aila, kamu bisa bikin gambar grafiknya?"

Pertanyaan itu membuat sang pemilik nama mengangkat muka, menoleh ke pemuda yang ada di depannya lalu menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Sini buku kamu, biar dibuatin. Saya udah bisa." Alta tersenyum, berdiri sedikit untuk mengambil buku Aila yang ada di meja. Setelahnya, mulai dia menggores pensil pada lembaran tersebut.

Aila diam, memperhatikan Alta lalu beralih ke gadis yang berada di sebelah pemuda itu. Kayra tampak memandang orang sama dengannya.

"Nih, kamu kenapa? Enggak enak badan?" tanya Alta yang membuat atensi Aila beralih.

Si pemilik lesung pipi menaikkan kedua alis karena sedikit terkejut lalu menggeleng sebagai jawaban untuk kedua kalinya.

"Bener?" Lagi, Alta mengajukan pertanyaan, tetapi kali ini sengaja berdiri dan meletakkan telapak tangan ke dahi si lawan bicara.

Aila menggigit bibir bawah, sedikit menaikkan bahu lalu melirik Kayra yang melihat ke arah mereka berdua. Segera dia menepis tangan Alta, bangun dari duduk lalu melihat orang yang ada di depannya sekarang.

"Ak-aku mau ke kamar mandi," ujarnya dan mengalihkan pandangan.

"Mau aku temenin?" tawar Indah dengan sedikit menengadah ke samping.

"Hm, enggak usah, aku bisa sendiri." Aila menggoyangkan tangan ke atas dan bawah, meminta Indah agar tetap duduk lalu beranjak dari sana.

***

Sambil memandang wajah di cermin, Aila menepuk-nepuk pipi beberapa kali. Dia meringis ketika kulit sudah berubah warna menjadi merah, menarik napas dalam dan memegang kupu-kupu pada kalung yang dikenakan.

"Kamu ini kenapa Aila? Kayra itu temen sekelasnya Alta," gumamnya lalu menghela napas dalam.

Aila merapikan rambut dengan menguncir ulang, kemudian beranjak dari sana sambil membetulkan rok abu-abu yang tampak kusut. Namun, ketika berada di depan pintu keluar toilet umum, dia dikejutkan dengan kehadiran Kayra di sana.

Meski sedikit menelan ludah berat, mengingat apa yang dia katakan di kamar mandi mungkin saja terdengar oleh si pendatang, tetapi Aila berusaha untuk tersenyum tipis dengan melambai pelan sebagai sapaan.

"Aila, kamu udah selesai?" tanya Kayra yang dijawab anggukan oleh si lawan bicara.

"Kalo gitu aku duluan, ya ...," pamit Aila dan hendak beranjak.

"Eh, tunggu!  Aila, bisa kita balik ke perpustakaan bareng-bareng?"

Permintaan Kayra membuat si pemilik lesung pipi berbalik, mengangguk pelan dan memilih berdiri tidak jauh dari sana. Dia melihat si gadis berambut lurus yang mulai masuk ke toilet, kemudian mengetuk kaki sambil bersenandung kecil sekadar melepas keheningan.

"Aquila," panggil seseorang yang membuat Aila melihat ke kiri.

Setelah membungkuk sedikit, memberi salam pada yang datang di sana, Aila mendekati sosok ramping berkacamata dengan bibir menggunakan lipstik nude tersebut.

"Selamat sore, Bu Morin. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aila saat sudah berhadapan langsung dengan sang lawan bicara.

Orang yang dipanggil Bu Morin tersebut tersenyum, menyodorkan dua lembar kertas yang dibawa kepada Aila.

Terlihat kerut memenuhi kening Aila, menatap deretan huruf yang sangat membuat hati girang serta jantung berdebar kencang. Dia menggigit bibir bawah, mengganti kertas yang dipandang dengan satu lagi, sebuah surat bertanda tangan untuk dirinya dan sang Ayah.

"Ibu harap kamu mau ikut lomba lukis untuk membawa nama sekolah, Aquila. Ini memang seperti mendadak, tapi ibu yakin dengan bakat kamu. Jangan lupa minta ijin orangtua kamu dan tanda tangan di surat itu," terang sang wanita ber-lipstrik nude.

Aila mengangguk, dalam dada terasa debaran kencang sebab atensi yang begitu tinggi untuk ikut perlombaan itu, tetapi dalam waktu bersamaan wajah marah sang Ayah terngiang di kepala. Meski sudah berbaikan dengan beliau, dia sama sekali tidak pernah meminta hal-hal mengenai mimpinya lagi, takut jika mendapatkan balasan yang membuat kecewa. Si pemilik gadis lesung pipi menarik udara dalam dan mengangkat wajah lagi, menatap sang lawan bicara lalu tersenyum tipis.

"Saya akan usahakan untuk bicara tentang hal ini dengan ayah saya, Bu," ujarnya lalu melipat kertas menjadi dua.

.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman 🤗❤️
Share ke semua akun sosmed kalian karena ini aku ikutkan event menulis agar bisa diterbitkan UwU UwU 😗♥️
.
.
Follow juga ya manteman jangan lupa ajak temen deket kalian untuk baca kisah manis ini. Supaya bisa merasakan apa yang kalian rasakan di setiap momen AlAi, Alta dan Aila wkwkkwkw 🙈❤️❤️
.
.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Onde histórias criam vida. Descubra agora