Hati Kamu Cuma Akan Terus Sakit, Alta ....

45 21 17
                                    

Bunyi ketukan pena mengenai meja belajar berhasil memenuhi suasana hening kamar Alta. Sekarang, dia duduk dengan menatap kosong buku bersampul cokelat yang biasa ditulis setiap malam. Namun, kali ini berbeda, beberapa kalimat terus melintas dalam otak hingga pemuda bergingsul membuka lembar lalu menutup rapat lagi.

Helaan napas terdengar bersamaan kepala Alta yang dibaringkan ke meja berbantalkan lengan. Dia menatap foto yang ada di sana, mengambil dan menatap seorang wanita cantik dengan memegang bunga matahari dan tersenyum lebar.

"Bu, apa yang harus saya lakukan sekarang?" gumamnya lalu menutup mata.

"Alta, semua yang ayah kamu lakukan itu udah berlalu. Dengan kamu benci sama dia, bukan berarti bisa buat ibu kamu hidup lagi. Aku tau ini berat, tapi menumbuhkan rasa benci semakin besar, enggak memberi keuntungan apa pun. Hati kamu cuma akan terus sakit, Alta."

Kalimat Aila siang tadi mengulang dalam kepala Alta. Dia mengembuskan udara, membuka netra lagi dan duduk tegak saat mendengar dering ponsel pada sebelah buku curahan hati tersebut.

Setelah menggeser ikon hijau, mulai Alta meletakkan ponsel ke telinga kiri, memainkan kuku ibu jari dan telunjuk pada atas meja sambil menunggu sang penelpon berbicara lebih dulu.

"Saya lagi belajar, kalo enggak ada yang mau dibicarain, saya tutup," ujar Alta dengan menatap kosong buku.

"Al, maaf ...."

Ucapan orang di seberang sana membuat pergerakan jari Alta terhenti. Dia terdiam, sesuatu dalam dada terasa sedikit sakit dan ngilu, entah kenapa, tetapi ada yang ingin menyeruak ke luar begitu saja.

"Maaf karena ninggalin ibu kamu dulu, minta kamu untuk urus semua tentang upacara pemakamannya, dan nuntut kamu kuat sebagai anak paling tua, Al. Maaf karena biarin kalian berdua tinggal di luar kota bersama nenek kalian sampai akhirnya dia meninggal dan kamu sama Tari kembali ke rumah itu. Maaf, karena enggak pernah bilang maaf sebelumnya ...."

Terdengar suara itu bergetar. Alta mengusap pipi kasar, tanpa sadar satu tetes air telah turun dari netra cokelat tersebut. Jika dipikirkan lagi, tidak pernah dia dan sang Ayah berbincang melalui panggilan jarak jauh begini. Misal mengobrol pun, beliau akan datang ke rumah, tetapi jangan harap ada sambutan hangat dari si pemilik gingsul.

"Al, ayah egois selama ini. Enggak mengerti kamu dan Tari, sekadar bilang sayang sama kalian aja terasa sulit. Al, ayah paham kamu marah waktu itu, tapi apa bisa kita perbaiki dari awal? Dengan keluarga yang kita punya sekarang," terang sang Ayah, terdengar helaan napas pada akhir kalimat itu.

Masih betah diam, Alta hanya mengangguk pelan sebagai jawaban untuk pemintaan sang penelepon. Dia menutup netra erat lalu bulir kesedihan turun, bahkan mulut ikut terbuka, mengambil oksigen lebih banyak lagi karena sesak semakin meluap kini.

"Al, kamu di situ?"

Pertanyaan dari sana dijawab gumaman oleh Alta. Dia meremas baju pada dada sebentar, menarik cairan melalui hidung dan mengusap sudut mata dengan punggung tangan.

"Kamu pasti capek sekolah tadi, kalo begitu ayah tutup—"

"Maaf, Yah ...," lirih Alta sebelum panggilan diputus oleh sang pemanggil.

Sambil menghapus semua jejak air pada pipi, Alta mengeratkan pegangan pada ponsel lalu kembali mengembuskan udara agar sesak di dada hilang.

"Maaf karena selalu bersikap kasar, Yah. Saya enggak mau ngelakuin itu, tapi terlalu susah untuk saya enggak marah sama Ayah," imbuh si pemilik gingsul.

Kemudian, tidak ada suara dari Alta lagi maupun orang di seberang sana. Namun, satu hal yang pasti, perasaan keduanya tengah berada dalam suasana yang baik kini. Jangan ada pertikaian atau amarah lagi. Bukankah kata maaf cukup dalam menyelesaikan permasalahan?

Alta tersenyum, menatap layar ponsel setelah menunggu beberapa menit untuk orang dari seberang sana mengucapkan selamat malam. Dia meletakkan benda pipih pintar itu ke sebelah buku, mulai mengambil pena dan menorehkan ke atas lembar demi lembar.

***
Keesokan hari, pada siang menjelang sore usai pulang sekolah. Aila duduk di halte sambil mengayunkan kaki, bersenandung pelan hingga bibir mengeluarkan suara yang membuat beberapa orang lain di sana menoleh. Dia meringis, menunduk sedikit kala balik menatap para pekerja dan murid yang menunggu bersama pada tempat tersebut.

Aila merogoh saku seragam, mengambil ponsel ketika mendapat notifikasi pesan masuk. Senyum yang berubah menjadi tawa terdengar darinya saat membaca beberapa kalimat dari sang sahabat.

Aku pergi ke toko buku bareng Zidan, tapi dia malah ajak aku muter-muter dulu, katanya lupa di mana toko mau balikin sepatu.

Cukup sampai di sana, Aila lalu membalas dengan beberapa emoji tertawa dan stiker manusia putih berkepala botak tersenyum lebar. Dia menggeleng, pasti Indah saat ini tidak peka, pikirnya. Lagi pula mana mungkin Zidan lupa, pasti itu dilakukan untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan si gadis berambut sebahu.

"Aila!" panggilan seseorang berhasil membuat si pemilik nama menoleh.

Aila tersenyum, melambaikan tangan ketika sosok tinggi berparas tampan mendekat, tetapi lengkungan cantik itu luntur kala ada gadis yang muncul dari punggung Alta. Dia mengernyit, menautkan alis lalu netra mengarah ke orang asing tersebut.

"Aila, kamu sendiri aja?" tanya si pendatang dan langsung mengambil posisi di sebelah gadis berlesung pipi.

Seolah tidak mendengarkan ucapan itu, Aila malah diam, terlalu sibuk dengan gadis yang masih berdiri tidak jauh dari tempat si pemuda tinggi bergingsul duduk. Dia memicingkan penglihatan, menelusuri dari ujung kaki hingga rambut orang yang diamati.

"Aila ...."

Panggilan dengan lambaian depan wajah berhasil mengalihkan atensi si pemilik nama. Dia menaikkan kedua alis, memandang pemuda yang duduk di sebelahnya tersebut.

"Alta, itu ...." Aila mengangkat telunjuk sedikit, mengarah ke orang yang sejak tadi masih tidak dia pahami kehadirannya.

"Oh! Itu ... kenalin, Aila. Dia Kayra," ujar Alta dengan menyesuaikan tangan untuk orang yang masih berdiri. "Kayra, ini Aila." Si pemilik gingsul kembali mengarahkan jari ke si pemilik nama yang disebutkan.

Aila masih diam, memandang gadis berambut lurus dengan bandana merah muda itu. Dia tersenyum tipis saat mendapati lengkungan manis dari si lawan bicara sekarang. "Salam kenal, Kayra," ujarnya dan mengulurkan tangan sedikit ke samping.

.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman 😗❤️
Share dan follow juga yaaaak!!!! 🤗❤️
.
.
.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now