Kamu Udah Janji, 'Kan?

74 25 19
                                    

Seorang pemuda berdiri di balik dinding salah satu kelas. Dia mengernyit, mengepal erat tangan, bahkan terlihat rahang tegas itu mengeras. Pada menit selanjutnya decihan keluar dari bibir tipis tersebut.

"Maaf, Sayang. Aku semalam telat karena ada pertemuan dulu, lain kali aku bakal tepat waktu, kok!"

Mendengar perkataan itu, si penguping masuk dan langsung berjalan ke arah subjek pengamatan yang tengah berbincang dengan seorang gadis. Dia tidak peduli dengan sorot mata yang mengarah ke arahnya karena sudah asal datang ke kelas sang kakak tingkat.

"Kak Langit!" teriaknya dari pintu. Dia berjalan menyusuri tiap barisan bangku dengan terus menggertakkan gigi. Tangan besarnya menampilkan buku-buku yang tampak memerah dengan urat yang jelas pada kulit putih itu.

"Alta, kenapa?" Orang yang dipanggil membalas dengan sedikit tersenyum, tetapi langsung berubah melotot karena si lawan bicara sudah lebih dulu menarik kerahnya.

Semua siswi di sana terpekik, Alta semakin beringas sampai membawa punggung Langit ke dinding paling belakang, bisa terdengar bunyi kuat karena menabrak kursi dan meja ketika dia menyeret si pemilik eyes smile. Para murid lelaki pun mulai sibuk menarik pemuda bergingsul agar menjauh dari ketua kelas mereka. Tidak ingin keributan terjadi padahal bel masuk saja belum berbunyi.

"Alta, kamu kenapa? Kita bisa bicarain baik-baik kalo ada masalah," protes Langit dan berusaha melepaskan cekalan pada dasinya.

Napas Alta memburu, bercampur antara kesal dan ingin memukul secepat mungkin. Dia menutup mata erat, kemudian melunakkan pegangan, membiarkan Langit lepas dan mengambil jarak menjauh darinya.

Alta menunduk, mengusap wajah kasar lalu kembali memandang Langit dengan tatapan tajam. "Saya butuh bicara sama Kakak, soal Aila," ujarnya dan hanya dijawab anggukan oleh si lawan bicara.

Sementara itu di tempat lain, Aila duduk sambil membaringkan kepala pada meja. Helaan napas terdengar kala mengubah posisi agar berhadapan dengan jendela di sebelah kiri. Dia menutup mata, merasakan angin pagi masuk dari teralis dengan gorden yang sengaja dibuka. Sosok itu mengeratkan pegangan pada tempat berbaring, menyembunyikan wajah ke lengan lalu sebuah memori kembali memutar pada ingatan si pemilik lesung pipi tersebut.

"Aku ... aku enggak tau harus bilang apa, Alta. Aku suka Kak Langit karena dia ganteng dan ramah banget, terlebih lagi dia jago melukis. Kalo kamu sendiri kenapa? Maksud aku, kenapa kamu suka aku?" Aila menunduk, enggan membalas pandangan dari pemuda yang telah membawanya payung itu.

"Karena kamu hibur saya waktu itu, Aila. Waktu ibu saya pergi. Saya bocah laki-laki yang kamu temui di rumah sakit, tujuh tahun lalu." Perkataan Alta membuat Aila mengangkat kepala, menatap tepat pada netra cokelat indah itu, terlihat jelas pandangan penuh harap di sana.

"Aku ingat kamu, Alta. Apa dengan begitu kamu akan terus bantuin aku jadian sama Kak Langit? Kamu udah janji, 'kan?" Si pemilik lesung pipi menggigit bibir bawah, mengeratkan pelukan pada ransel dengan sedikit mengerutkan kening hingga alis naik.

Altha menutup netra, mengembuskan napas lelah lalu membuang pandangan ke sembarang arah sekejap. Dia merasa ada sesuatu dalam dada, sakit yang tidak menunjukkan gejala apa pun.

"Saya udah janji, enggak mungkin saya ingkar. Kasi saya waktu satu bulan, Aila," ujarnya dan memegang bahu si lawan bicara. "Dengan begitu, saya akan buat kamu jadian sama Kak Langit."

Aila tersentak, suara keributan dari luar kelasnya membuat semua lamunan itu buyar. Dia membuka mata, melihat ke arah pintu, tampak beberapa murid berlalu lalang di sana. Sosok itu mengernyit, berdiri dan berjalan menuju tempat sang sahabat bersantai sekarang.

"Indah, kenapa?" tanya Aila setelah berdiri di luar kelas, tempat si lawan bicara berada.

"Enggak tau, katanya ada yang berantem, Ai," sahut Indah dan mencomot keripik kentang di tangan.

Aila maju sedikit, dia mencegah seorang siswi yang lari dengan menarik lengan ramping itu. "Siapa yang berantem?" ucapnya.

"Kak Langit sama murid kelas sebelas, anak baru!" teriak gadis itu lalu langsung berlari lagi.

Indah menghentikan kunyahan, melihat Aila dengan melotot. "Kita harus lihat!" pekiknya dan segera menarik tangan si pemilik lesung pipi untuk mengikuti.

***
Di atap gedung sekolah, terlihat dua pemuda tengah bergelut hebat. Orang yang lebih tinggi berada di atas si berkacamata, memegang kerah geram dan langsung melayangkan satu pukulan hingga bibir lawan mengeluarkan cairan merah kental.

"Dia itu penting bagi saya! Kalo kamu enggak bisa buat dia senyum, seenggaknya jangan bikin nangis!" ucap si pemuda bergingsul dengan menggertak gigi hebat, bahkan tampak rahang kokoh itu bergetar.

"Alta, kalo kamu memang enggak mau ada yang sakitin dia, jangan biarin orang kayak aku dekat dengannya," sahut si pemuda berkacamata lalu berdecih sedikit. "Karena cewek manja dan polos kayak dia, bakal dengan mudah untuk cowok manapun mainin," tambahnya yang membuat satu pukulan lagi mendarat ke pipi itu.

Alta berdiri, mengusap sudut bibir dengan ibu jari dan mendesis pelan, sempat mendapatkan pukulan dari sang lawan sekitar lima menit lalu. Dia melihat sekeliling, beberapa murid sudah tiba di sana. Namun, ada seseorang membuat perhatiannya teralihkan, sosok mungil yang baru saja datang tengah membelah keramaian dengan wajah pucat ketika melihat kondisi orang telah terkapar di depan si pemilik gingsul.

"Aila ...," lirih Alta dan berusaha berjalan mendekat ke si pemilik nama.

"Kamu pukul Kak Langit karena aku?" tanya Aila lalu menengadah.

Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan oleh Alta. Dia menunduk, berusaha meraih tangan mungil Aila, kemudian memandang netra legam itu dalam. "Maaf, Aila. Saya pikir, saya enggak bisa tepatin janji saya. Jadi, kamu cukup lupain semua tentang saya, Aila," ujarnya lalu pergi dari sana, meninggalkan si pemilik lesung pipi begitu saja.

.
.
.
.
Halo semuanya!!! Jangan lupa tinggalkan jejak🥺
Follow juga 😭
Share ke semua akun sosmed kalian juga bro 🥺♥️
.
.
.
.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now