Akhirnya Datang Juga!

71 25 29
                                    

Alta membuat ponsel dalam mode getar, telinganya sakit hanya karena dering dari Aila yang terus menerus masuk. Dia membanting tubuh ke ranjang dan menutup diri sampai dada dengan selimut. Mulai si pemilik gingsul memiringkan posisi lalu menutup mata perlahan, mengingat jam telah menunjukkan pukul sepuluh.

Meski sudah memasuki jam larut, Alta masih saja mengingat kejadian sore ini. Dalam ruang hening yang dihiasi bunyi jarum detik tersebut, otaknya seperti kaset rusak yang memutar kembali apa yang sudah terlihat ketika dia menginjakkan kaki di taman sekolah.

Alta mengayunkan tangan berlawanan dengan tungkai berjalan seperti anak kecil. Suasana hati pemuda itu tengah dalam keadaan yang sangat baik sampai tidak peduli jika orang-orang yang dilewati memandang dengan tatapan aneh. Dia menyusuri pekarangan sekolah yang tampak sepi. Sambil bersenandung lagu Naik-naik ke Puncak Gunung, si pemilik gingsul terus berlari kecil hingga tiba ke tempat tujuan.

Kaki pemuda tinggi itu terhenti saat yang ingin ditemui terlihat berbincang dengan orang lain. Untuk entah keberapa kali, Alta bersembunyi sambil mengamati Aila dari kejauhan. Tampak gadis itu menunduk lalu tersenyum tipis, kemudian dengan ringan si lawan bicara mengelus puncak kepala si pemilik lesung pipi.

Dia ajak saya ketemu di taman karena mau tunjukkin ini? Alta membatin lalu beranjak dari sana.

Langkah yang awalnya ringan bagai permen kapas merah muda yang cantik. Kini, berubah berat, Alta berjalan dengan menyeret kaki, melewati kerikil di halaman sekolah, bahkan terlihat bahu tegap itu turun seperti bunga yang belum disiram.

Getaran ponsel terdengar dari nakas, membuat Alta kembali membuka netra dan menyingkap selimut secara kasar. Dia mendengus, meraih benda pipih pintar itu dengan sedikit menekuk bibir tipis tersebut.

"Halo, kenapa terus telpon saya dari tadi?" Setelah menggeser ikon hijau, Alta meletakkan ponsel ke telinga kiri.

"Alta, kamu baik-baik aja, 'kan? Soalnya dari tadi aku tunggu, kamu enggak sampe-sampe."

Pertanyaan itu membuat Alta melotot lalu mengeratkan pegangan pada benda di tangan. "Kamu masih di sana?" ujarnya memastikan lagi.

"Enggak," jawab yang di seberang sana santai.

Alta mengembuskan napas dan mengelus dada. "Jadi di mana sekarang?" Kembali dia melontarkan pertanyaan.

"Aku tunggu di depan gerbang sekolah," sahut si lawan bicara.

"Ngapain di sana, Aila?" Alta mengerutkan kening, dalam dada juga terasa sedikit berdegup kencang karena panik mulai menguasai.

"Karena tadi enggak diijini tunggu di dalam. Kata Pak satpam mau dikunci gerbangnya jadi aku tunggu di luar, deh!" terang Aila jelas.

Alta menepuk dahi sendiri, memijat perlahan lalu segera memutuskan panggilan secara sepihak. Dia secepat mungkin turun dari ranjang, mengambil jaket pada balik pintu tanpa mengganti celana ponggol yang dikenakan.

Sedangkan di tempat lain, Aila memandang layar ponsel yang sudah tidak lagi menghubungkan panggilan di antaranya dan Alta. Dia berkedip beberapa kali, mengerucutkan bibir kesal, merasa tidak dipedulikan oleh pemuda bergingsul yang telah hampir lima jam ditunggu.

Aila melihat kiri dan kanan sambil memeluk diri. Hawa dingin sejak tadi sudah dirasakan, tetapi seakan tidak peduli, gadis itu terus menanti kedatangan Alta. Jangan tanya apa alasannya. Karena si dimple pun tidak tahu mengapa melakukan ini.

Suara langkah memburu yang mendekat, membuat Aila menoleh. Dia memicingkan pandangan, melotot ketika mendapati bayangan orang tinggi dengan pakaian serba hitam dan mengenakan celana pendek.

"Ada orang jahat enggak waras!" pekiknya histeris. Aila berbalik, jongkok lalu memungut batu yang sekiranya cukup besar untuk menjadi senjata jika nanti diserang.

"Aila!"

Merasa nama dipanggil, si pemilik lesung pipi berhenti dari aktivitasnya. Dia memutar arah lagi, melihat ke orang yang baru datang dengan sedikit menengadah.

"Alta ...," lirihnya pelan. "Akhirnya datang juga!" imbuh Aila dengan tersenyum lebar, kemudian berdiri selepas membuang semua batu yang dipungut.

"Alta, kenapa kamu enggak datang sore tadi? Kamu masih marah sama aku, ya? Atau kamu emang beneran sakit? Tipes, muntaber, bengek mungkin yang—"

Perkataan itu terhenti saat yang ditanya memeluk tubuh Aila. Sampai hidung tidak begitu mancung dan pesek milik gadis itu mengenai dada bidang Alta sedikit keras, bahkan terdengar suara rintihan dari si pemilik dimple.

"Maafin saya udah buat kamu tunggu lama, Aila. Padahal saya sendiri yang bilang enggak akan kayak Langit yang buat kamu ketakutan," ucap Alta lalu meletakkan kepala di atas bahu si lawan bicara.

Aila berkedip beberapa kali, mengelus hidung sebentar lalu menepuk pelan punggung Alta. "Kamu enggak salah, aku sendiri yang mau tungguin di sini. Sekarang, bisa lepasin enggak? Udah agak sesak ini, kamu mau modus peluk-peluk anak gadis orang, ya?" Si pemilik lesung pipi mengubah tepukan menjadi lebih keras, bahkan membuat sang empu sampai meringis.

Alta melepaskan pelukan, menarik tubuh menjauh dari Aila lalu menunduk pelan. Dia memandang si lawan bicara yang tengah menatapnya dengan mengerutkan kening hingga alis sedikit naik.

"Kamu ini sebenarnya polos apa goblok, sih? Kalo udah enggak datang ngapain tunggu saya terus? Seharusnya kamu pulang. Gimana misalnya ada orang jahat?" Alta menarik napas setelah mengatakan semua kerisauan itu.

"Karena aku percaya kamu bakal datang, Alta. Kamu udah janji akan jadi bintang paling terang buat aku, 'kan? Sekarang, aku enggak ragu tentang hal apa pun sama kamu," sahut Aila dan tersenyum untuk kedua kali.

Alta mengangkat sebelah tangan, meletakkan ke atas kepala Aila lalu berujar, "Gimana caranya saya bisa benci sama kamu, Aila? Kalo kamu terus kayak gini dan buat saya enggak bisa jauh dari kamu."

Aila mengerucutkan bibir, menepis tangan Alta lalu meletakkan kedua tangan di pinggang. "Sekarang, kasi tau alasan kamu kenapa enggak datang tadi?" tanyanya dengan memasang wajah garang, seperti siluman rubah dalam animasi Naruto.

Sambil menggaruk tengkuk, Alta membuang pandangan asal. Dia meringis pelan dan menjilat bibir yang sempat dikulum sebentar. "Saya lihat ini," ucapnya dan menunjuk surai gelombang Aila. "Dipegang sama Kak Langit," tambah si pemilik gingsul dan mengalihkan telunjuk untuk menggaruk belakang telinga.

Aila melongo, tidak mengerti sama sekali dengan alasan yang dianggapnya bodoh tersebut. Dia berjinjit, meletakkan dua jari di dahi Altha lalu berucap, "Kamu beneran sehat, 'kan? Gimana ceritanya kamu enggak datang hanya karena itu?"

Alta sempat melotot karena terkejut dengan sentuhan dingin dari si lawan bicara. Dia meraih pergelangan mungil itu, menarik sedikit lalu membungkuk untuk menyamai tinggi dengan Aila, bahkan netra legam di sana membola saat beradu tatap dengan iris cokelat milik pemuda bergingsul.

Setelah mendekatkan wajah mereka hingga tersisa beberapa inci saja, Alta menjawab perkataan Aila dengan mendekatkan bibir ke telinga mungil si lawan bicara. "Karena saya cemburu," ujarnya pelan, tetapi berhasil membuat si pemilik lesung pipi merona.

.
.
.
Halo semuanya!! Jangan lupa tinggalkan jejak, share dan follow bagi yg belum yaaak 🤗♥️♥️♥️

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now