Apa Pernah?

56 22 17
                                    

Aila menatap api unggun di hadapan, menekuk lutut dan membenamkan sebagian wajah pada lengan atas dengkul. Dia berkedip sedikit cepat ketika angin menerpa wajah, membiarkan helai surai yang tidak terikat dengan mudah beterbangan sesuai permainan sang bayu. Netra legam itu terpejam bersamaan remasan mengerat pada selimut yang menutup seluruh kaki. Kemudian, ingatan tentang kejadian sebelum pergi dari rumah mengulang bagai film yang diputar.

Aila memegang erat brosur yang diberikan Langit ketika tidak sengaja bertemu beberapa hari lalu usai pembagian nilai akhir semester. Dia menggoyangkan tungkai agar segera masuk ke dalam ruangan yang ada di depannya sekarang. Embusan napas keluar dari si pemilik lesung pipi, bibir bawah dijilat sedikit lalu mulai tangan terangkat, bersiap untuk mengetuk.

Pintu diketuk beberapa kali, jemari lentik itu pun mulai berada pada kenop dan memutar perlahan. Dia melangkah ketika ijin dari sang pemilik tempat terdengar. Aila berjalan mendekat ke kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerja di sana.

"Kenapa, Aila?" tanya orang yang di hadapan si pemilik nama.

Usai menelan ludah berat, Aila menyodorkan kertas yang dibawa ke atas meja. Dia memilin jari di pangkuan setelah bersandar pada kursi. Kening sang Ayah yang berkerut berhasil membuatnya mendesis pelan, menutup mata erat lalu menunduk, bersiap dengan reaksi lawan bicara nanti.

"Kamu berharap apa? Ayah ijinin kamu ikut lomba melukis di pusat kota? Aila, kamu juga udah tau apa jawabannya, 'kan?"

"Ya, Ai tau, tapi apa boleh sekali ini aja?"

Rahang sang Ayah mengeras brosur di genggaman mulai teremas hingga berbentuk bola kusut. Aila mengangkat wajah, memandang apa yang tengah dilakukan pria paruh baya itu dengan netra berlinang.

"Ini enggak guna, Aila. Tiap tahun minta ijin enggak akan buat luluh," ujar sang Ayah dan melempar kertas asal.

Aila menarik napas berat, bahkan terpejam bersamaan remasan semakin erat pada piyama. Dia menunduk, menatap ubin dengan pikiran tidak jernih sekarang. Dalam hati bertanya-tanya, apakah dengan begini mimpi tidak akan pernah diraih?

Satu embusan napas terdengar lagi, Aila menengadah perlahan, berharap air yang dibendung pada mata tidak tumpah begitu saja. Setelah memberanikan diri, Aila kembali menatap sang Ayah.

"Apa pernah Ayah berpikir tentang yang Ai mau?" ujarnya lalu meremas jemari, terdengar suara tawa miris setelah kalimat itu.

"Aila, ini semua demi kebaikan-"

"Kebaikan Ai? Enggak, Ayah. Semua tuntutan itu untuk Ayah biar bisa lihat kakak dan bunda dalam diri Ai. Sibuk menekan Ai supaya seperti kakak untuk bisa jadi dokter kayak bunda," potong Aila cepat. Dia masih menatap netra sang lawan bicara dengan mata berair.

"Ai ... Ai bukan mereka, Yah ...," lirihnya pelan, kemudian satu tetes air mengalir pada pipi gembil tersebut.

"Aila, ayah enggak pernah ajarin kamu untuk bersikap memberontak begini! Apa semuanya karena Alta itu? Semenjak kamu sering pergi sama dia, kamu jadi berani melawan. Ayah udah bilang untuk jauhin dia, 'kan!" Sang Ayah mengepalkan tangan di meja, intonasi suaranya berhasil membuat ruang penuh hingga denting jarum jam tidak lagi terdengar.

"Enggak, jangan bawa Alta lagi kali ini. Ai jauhin dia setelah pembagian nilai, itu semua karena Ayah. Ai pikir, dengan gitu Ayah akan terima Ai dan ngerti tentang apa yang Ai mau."

Aila memegang ujung baju erat, dalam hati terasa panas hingga ingin meledak. Dia menarik napas pelan beriringan dengan netra tertutup, berusaha mengontrol emosi agar stabil, mengingat sang lawan bicara adalah ayahnya sendiri.

"Berhenti tentuin jalan hidup Ai, Yah. Ai berhak hidup dengan mimpi Ai sendiri," ujar Aila lalu mengusap pipi secara kasar.

"Lupakan mimpi itu, Aila. Menjadi pelukis bukan pilihan yang terbaik. Ayah tau apa yang pantas buat kamu," sahut sang Ayah lalu berdiri dan mengarahkan telunjuk ke Aila.

Si pemilik lesung pipi mengulum bibir erat. Dia berdiri, menepis tangan sang Ayah cukup kuat lalu berargumen, "Tau apa Ayah tentang yang terbaik buat Ai! Ayah hanya selalu kasi alasan itu. Apa Ayah sadar? Ai ini anak Ayah juga, bukan hanya kakak. Berhenti membandingkan kami dan nuntut Ai supaya jadi dokter kayak bunda!"

Aila menutup wajah, mengusap kasar bersamaan air yang turun dari netra beriris hitam itu. Kembali dia memandang wajah sang Ayah, mengepal tangan pada sisi tubuh lalu menarik napas dalam.

"Ai bukan boneka teater yang bisa diatur, Yah. Jadi, mohon putusin benang itu. Coba buka mata Ayah untuk lihat Ai sebagai Ai sendiri, bukan orang lain. Yang Ayah punya sekarang tinggal Ai, kakak dan bunda udah-"

Kalimat itu terhenti kala tamparan mendarat keras pada pipi gembil Aila, membuat netra itu terbuka lebar. Si pemilik dimple meraba bagian yang terlihat memerah, berusaha mengangkat kembali wajah dan menatap sang Ayah sambil menggeleng pelan.

Tepukan pada bahu Aila membuat ingatan itu buyar. Dia menoleh ke samping, tampak Alta memandangnya dengan alis terangkat dan bibir mengerut sedikit.

"Kamu baik-baik aja, Aila?" tanya si pemilik gingsul, kemudian menutupi bagian tubuh sang empu nama dengan jaket yang dibawa dari belakang.

"Hm, aku baik-baik aja."

Alta bergumam sebagai balasan, duduk dengan menjulur kaki dan tangan ke depan untuk merasakan api unggun yang mereka buat. Dia menatap langit, memikirkan kembali semua yang Aila ceritakan padanya saat perjalanan ke sana. Helaan napas terdengar dari sosok bergingsul, bagaimanapun tidak pernah menduga jika sosok gadis seperti pemilik dimple memiliki masalah yang cukup rumit di rumah.

"Btw, kenapa kamu ajak aku ke bukit belakang sekolah, Alta? Apa enggak masalah buat tenda di sini?" tanya Aila sambil mengedarkan pandangan.

Alta tergelak sebentar, mengalihkan atensi dari bintang lalu menyentuh dahi Aila dengan telunjuk agar berhenti bergerak ke sembarang arah.

"Jadi, kamu mau saya bawa ke mana? Hotel? Kita masih di bawah umur. Rumah saya? Lagi enggak ada orang lain, adik saya pergi liburan bareng temennya. Yang bisa saya bawa cuma tenda dan perlengkapan kemah dari rumah. Lagian kamu sendiri kenapa enggak minta tolong Indah?" Alta kembali menjauhkan tangan dari Aila, mengubah posisi duduk dengan menekuk lutut dan lengan di atasnya.

"Dia lagi liburan sama keluarga," sahut Aila dengan mengerucutkan bibirnya.

Alta menaikkan bahu, membuang pandangan dari Aila ketika ponsel mengeluarkan bunyi notifikasi. Dia merogoh saku, menekan ikon pesan lalu mengulas senyum tipis.

Saya dan Aila di bukit belakang gedung sekolah. Om bisa jemput dia ke sini, tapi nanti. Jangan sekarang karena ada beberapa hal yang mau saya tunjukkin. Tenang, saya enggak akan ambil dia tanpa ijin dari ayahnya.

"Dapat pesan dari siapa?" tanya Aila berusaha mengintip layar ponsel Alta.

"Indah, dia kirim nomor seseorang yang harus saya hormati," jawab Alta dan melengkungkan bibir ke atas usai meletakkan ponsel ke sisi tubuh.

"Hm? Siapa?"

"Calon ayah mertua," ujar si pemilik gingsul santai.

.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman 😗♥️
.
.
Share dan follow juga yaaaak ❤️❤️❤️

To Be Your Starlight [Terbit✓]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें