Saya Mau Bilang Sesuatu!

202 49 52
                                    

Sambil mengetuk meja belajar menggunakan pena, Aila terus memperhatikan buku di depannya, seolah fokus padahal tidak. Terdengar embusan napas kala tangan menyelipkan surai yaang 'tak terikat ke belakang telinga, dia menutup lembaran di sana dengan kasar lalu bersandar ke kursi, kemudian memeluk boneka kelinci pada pangkuan.

Aila meletakkan pena di bawah dagu, memandang langit-langit lalu memiringkan kepala sampai terpejam, seakan otaknya kembali mengulang apa yang terjadi sore tadi di antara dirinya dan Altha.

“Syarat apa itu? Aku enggak pernah ketemu kamu, gimana bisa coba ingat lagi?” Aila mengernyit, menarik tangan dari genggaman sang lawan bicara.

Seulas senyum tampak di wajah putih bergingsul tersebut. Dia berdiri sambil menghela napas dan menekuk lutut agar setara dengan si pemilik dimple.

“Kita pernah ketemu. Karena itu … coba ingat saya, Aila,” ujarnya lalu mengacak pelan rambut gelombang di sana.

Aila mengerucutkan bibir, memicingkan mata, dan berdecih sebal. Dia menepis tangan Alta, bangun dari duduk, kemudian pergi menuju pintu, membuat si pemilik gingsul memutar arah.

“Aku akan coba ingat kamu, tapi kamu harus bantuin aku. Janji?” Sosok itu mengudarakan kelingking dengan sedikit memiringkan kepala.

Dari tempat berdiri, Alta terkikik dan membuang pandangan. Mulai dia melangkah mendekat, mengulurkan jari paling kecil ke depan lalu mengaitkannya dengan milik Aila.

“Saya janji. Jadi, kamu harus ingat saya, ya?” ucap Alta dengan mengulas senyum.

Suara dari kaca jendela yang dilempar batu membuat Aila tersentak. Dia membuka netra dan lamunan tersebut pun buyar. Gadis itu mengernyit, berdiri, kemudian meletakkan boneka ke kursi.

Meski sedikit sulit melihat ke luar sana, Aila memicingkan mata sambil berjinjit. Tampak seorang pemuda mengenakan jaket hitam beserta topi warna senada. Sosok itu menengadah, melempar batu kecil sampai terus membuat bunyi pada kaca jendela di lantai dua rumah tersebut.

Aila melotot, menumpu badan dengan siku di meja lalu membuka jendela meski sedikit kesusahan.

“Alta!” teriaknya yang membuat pelaku berhenti.

Si pemilik nama membuang batu ke samping, melambaikan tangan sambil terus mengukir senyum pada wajah tampan itu. “Saya mau bilang sesuatu!” jawabnya dengan intonasi lebih tinggi.

Mendengar ucapan si lawan bicara, Aila menggeleng pelan dengan netra tertutup. Dia mengangkat tangan sebelah, seolah memberi tanda kepada Alta untuk menunggunya datang.

Dari bawah sana, telihat Alta menunduk, melirik jam di pergelangan kiri yang menunjukkan pukul tujuh malam. Dia menelusupkan tangan ke saku jaket, merasa hawa dingin menusuk tulang sampai terpaksa menaikkan tudung pakaian yang dikenakan.

Alta menelusuri sekitar dengan netra beriris cokelat itu. Tampak halaman samping bangunan rumah Aila luas, ditambah ada meja kayu persegi serta kursi berbahan serupa. Dia kembali memandang tembok tinggi yang ada ditumbuhi banyak tanaman hias sambil meringis pelan. “Saya akan hati-hati lain kali kalo lewat sana lagi. Jadi bunga punya Aila enggak rusak,” gumamnya, kemudian berbalik.

“Kamu hancurin bunga aku?”

Pertanyaan itu berhasil membuat Alta mundur dengan memegang dada. Dia terpejam sampai akhirnya berujar, “Gimana kalo misalnya tadi saya engga sengaja cium kamu karena kamu deket banget?”

Aila mengerutkan kening, menyilang tangan di dada lalu memutar bola mata malas. “Kamu enggak boleh ngelakuin itu ke anak gadis orang,” protesnya sambil menggeleng.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now