Jawab, Aila ....

60 24 20
                                    

Atmosfer suasana bioskop seakan mencekam, bukan karena adegan romantis yang diputar. Namun, sebab orang yang berada di sebelah Aila terus mengerucutkan bibir, menumpang dagu dengan tangan yang berada pada kursi. Dia meringis pelan, mengalihkan pandangan dari pemuda bergingsul lalu mencoba fokus dengan tayangan di hadapan sana.

"Alta, kamu mau berondong jagung?" tanya seorang gadis dari sisi kiri si pemilik netra cokelat.

Aila ikut menoleh saat Alta menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut. Helaan napas terdengar keluar dari bibir mungil itu, dia menutup netra erat karena pusing mulai terasa. Kembali si pemilik dimple melirik gadis berambut lurus di ujung sana.

Mulai Aila menyandarkan punggung hingga tubuh sedikit menurun, menyeruput minuman yang ada pada tangan lalu menatap layar dengan teliti, tetapi pikiran sibuk mengulang kejadian kemarin, tepat setelah berbincang dengan Bu Morin.

Aila kembali berjalan ke depan toilet umum, menyilang kedua tangan depan dada sambil punggung bersandar pada tembok. Dia menatap kosong ke depan, memikirkan terus apa yang baru saja dikatakan guru pembimbing klub seninya tersebut. Mengikuti ajang melukis? Tentu mau! Namun, bagaimana cara meminta ijin kepada sang Ayah, mengingat pernah bertengkar perkara hal yang sama meski kini sudah berbaikan.

Ketika mendengar bunyi langkah mendekat dari belakang, Aila segera membetulkan posisi berdiri, menoleh ke kanan tempat orang dinanti muncul. "Udah selesai? Ayo, balik ke perpustakaan!" ajaknya dan berjalan lebih dulu.

Namun, si pemilik lesung pipi berhenti saat merasa pergelangan ditahan. Dia berbalik, memandang Kayra dengan alis bertautan. "Kenapa?" tanya Aila dan menarik kembali tangan.

Tampak Kayra menggigit bibir bawah, menjilat sedikit lalu menggosok belakang leher dengan membuang pandangan sebentar. "Ada yang mau aku tanya, Aila," ucapnya pelan.  Mungkin tidak akan terdengar jika si lawan bicara berdiri lebih jauh lagi.

"Hm, tanya aja," balas Aila santai dengan mengangguk sekali.

"Kamu kelihatan dekat sama Alta. Apa kalian pacaran?" tanya Kayra dengan sedikit meringis di akhir kalimat.

Aila membuka mulut sedikit, menutup erat sampai mengulum. Dia menaikkan bahu bersamaan dengan pandangan ke samping, kemudian menjawab, "Hm, dekat, sih ... tapi enggak pacaran, kok!"

Kembali si pemilik dimple melihat Kayra, tampak gadis itu tersenyum tipis dengan menunduk dan menyelipkan rambut lurus hitam tersebut ke belakang telinga. "Memangnya kenapa, Kayra?" tanya Aila penasaran.

Kayra mengangkat wajah, memandang lawan bicara lalu melengkungkan bibir ke atas jauh lebih lebar. "Aku mau minta tolong boleh, enggak?"

Aila mengangguk pelan walau sempat terkejut ketika tangan diraih oleh si lawan bicara. Namun, perkataan yang selanjutnya keluar dari Kayra, berhasil membuat gadis berlesung pipi itu menurunkan bahu. Seperti sesuatu terasa sedikit asing dalam dada hingga spontan mengendurkan pegangan.

Film pun berhenti ditayangkan, Aila mengerjap beberapa kali sebab lamunan buyar bersamaan beberapa penonton yang berdiri. Dia menoleh ke samping, tempat Alta dan Kayra duduk.

Sambil mengulas senyum tipis setengah hati, Aila berdiri, berlalu mendahului orang yang pergi bersama dengannya. Dia terus meremas tas selempang yang dibawa, menutup netra dan keluar dari studio dengan hati bertanya-tanya.

"Bantuin aku dekat sama Alta, Aila. Aku suka dia sejak pertama masuk, tapi baru bisa sekarang kayak gini karena kebetulan wali kelas minta kami belajar sama-sama."

Permintaan dari Kayra mengulang dalam pikiran Aila. Dia menghela napas hingga terpejam, sebelah tangan memegang dada, kemudian menggeleng cepat seolah menyadarkan diri dari sesuatu. Membantu adalah perilaku terpuji, itu yang selalu sang Ibu katakan kepada si pemilik dimple dulu.

***
Malam hari, Aila duduk di depan meja belajar, menatap kosong buku fisika dengan tangan mengetuk pena ke bawah, membuat bunyi mengisi hening ruangan tersebut. Dia mengembuskan napas lelah, bersandar ke kursi dan menutup mata erat, berpikir apakah tindakannya siang ini sudah benar? Meninggalkan Alta dan Kayra berdua ketika di pusat perbelanjaan, dengan alasan tidak boleh pulang larut.

Suara kaca jendela membuat Aila membuka netra, berdiri lalu berjinjit untuk melihat orang di bawah sana. Dia mengernyit, menatap seorang pemuda bertubuh tinggi dengan topi hitam yang menunduk, tidak melambai seperti biasanya.

Sementara itu situasi di bawah, Alta menendang rumput pendek dengan perlahan. Dia mengulum bibir, menatap kosong tanpa tujuan yang jelas. Ketika terdengar suara langkah mendekat, si pemilik gingsul mengangkat pandangan, menatap sang pemilik rumah dengan wajah tanpa ekspresi.

"Ada apa, Alta?" tanya Aila dengan mengeratkan outer rajut yang dikenakan.

Alta diam, berdecak dengan mengalihkan pandangan sebentar dari si lawan bicara. "Aila, kamu ini sebenarnya suka saya enggak?" ujarnya dan melihat tepat ke netra legam itu.

Mata Aila membola, bahu merosot dan sebelah tangan berada di dada. Pandangan gadis ber-dimple mengarah ke sembarang arah, enggan menatap langsung si pemilik gingsul.

"Jawab, Aila ... kamu ini sebenarnya suka saya enggak?"

Lagi pertanyaan itu datang dari orang yang sama, membuat wajah Aila terangkat dan memberanikan diri membalas tatapan. "Aku ... aku ...."

"Aila, saya masih ada waktu dua hari," potong Alta dan mendekat, memegang bahu mungil nan ramping di sana, kemudian menurunkan tubuh agar sama dengan Aila.

"Tapi kamu mutusin untuk deketin saya sama Kayra. Aila, apa memang selama beberapa bulan ini hati kamu masih belum bisa lupain Kak Langit? Apa memang enggak ada celah sedikit pun buat saya masuk?" Alta mengeratkan cengkaraman, kemudian melunak bersamaan dengan kepala yang menatap ke bawah.

"Alta, dia ... dia minta tolong aku...," lirih Aila pelan.

Setelah mengangkat lagi muka, Alta melepaskan bahu itu. Dia tertawa hambar, mengacak rambut lalu menyisir ke belakang dengan jari. Usai menarik napas dalam, kembali si pemilik gingsul mengarahkan atensi penuh pada si lawan bicara

"Aila, saya kecewa sama kamu," ujarnya pelan.

Perkataan itu berhasil mengenai sesuatu dalam dada Aila hingga terasa perih, bahkan air menggenang pada mata cantik beriris hitam tersebut.  Dia menelan ludah berat, merasa oksigen seakan menipis bersamaan hari yang semakin larut.

"Saya kecewa sama kamu, Aila. Kalo kamu enggak suka saya, kamu cukup bilang. Jangan gini! Seenggaknya hargai perjuangan saya." Alta meraih tangan Aila yang bebas, mengelus punggung dengan ibu jari lalu tersenyum tipis.

"Aila, saya pikir, harapan saya yang terlalu tinggi sampe bikin patah diri sendiri. Buat rasi yang luas dan cantik seperti kamu untuk jatuh cinta ke saya, mungkin cuma mimpi aja ...." Si pemilik gingsul menjeda kalimat, menarik napas dalam hingga netra terpejam sebentar. Dia menatap lekat mata si lawan bicara dengan sendu terpancar pada manik.

"Ayo, lupain tentang janji dua bulan untuk buat kamu jatuh cinta ke saya. Karena ... saya berhenti, Aila," tambah Alta lalu melepaskan genggaman pada tangan lentik si pemilik dimple.



.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman, share, dan follow juga yaaa UwU UwU 😗♥️

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now