Mari Ngobrol, Alta

69 25 27
                                    

Aila menggaruk rambut dengan pangkal bawah kuas yang dipegang. Kanvas kosong yang tengah ia hadapi sudah mulai terbubuhi oleh banyak warna cat air yang cantik. Menampakkan seorang gadis berdiri dengan memegang bunga matahari, tersenyum lebar dan ada pemuda yang menatapnya dari kejauhan sambil mengambil gambar menggunakan kamera digital.

Setelah menoleh ke kiri, dia mengembuskan napas. Sosok yang selalu melambaikan tangan hingga cat mengenai kulit sudah tidak terlihat selama beberapa hari ini.

Semenjak kejadian di atap gedung sekolah, Alta berhenti datang ke klub seni, bahkan ketika bertemu dengan si pemilik lesung pipi, pemuda itu hanya melirik sekilas lalu membuang pandangan secepat mungkin, benar-benar menganggap Aila tidak pernah ada.

Aila menunduk menatap palet di pangkuan. Sendu terlukis jelas pada mata beriris hitam itu kala tertuju lagi ke kanvas. Dia meletakkan kuas dan semua alat melukisnya ke meja kecil yang ada di sebelah bangku, kemudian mengangkat sebelah tangan.

"Bu, saya ijin pulang lebih cepat, ya? Sedikit enggak enak badan," pamit Aila dan segera beranjak tanpa mendengar jawaban si pembimbing klub.

Sementara itu pada tempat lain, seorang pemuda duduk di sofa balkon kamar, menyandarkan kepala dengan membaca komik aksi kesukaan. Alis tebal itu bertaut kala karakter utama mulai memainkan pedang ke lawan. Sampai akhirnya dia terpekik kuat dengan tangan meninju udara ketika sang pahlawan memenangkan pertarungan.

Dia menutup buku, meregangkan kedua tangan ke atas agar punggung tidak lagi keram. Pemuda itu berdiri, merentang lengan dan menutup netra, merasakan hawa sejuk sore pada hari senin ini.

Setelah mata kembali dibuka, pemuda itu berbalik, kembali masuk ke kamar dan membanting tubuh ke ranjang cukup keras. Hingga terdengar suara per dari kasur.

Bunyi notifikasi pada ponsel membuatnya terpaksa mengubah posisi jadi telentang. Dia meraih benda yang terletak pada nakas dan melihat nama pada layar; Rasi Saya yang Cantik Pake I 1000 Kali.

Sosok bergingsul itu mengernyit, sangat banyak pesan masuk beruntun dari yang orang sama. Sampai akhirnya dia melotot pada chat yang terakhir.

Alta, aku ingat kamu. Kita pernah ketemu dulu. Kamu udah janji mau buat aku jadian sama Kak Langit, 'kan? Tapi ... bukan janji itu yang mau aku tagih semalam, Alta. Katanya kamu mau jadi bintang paling terang, 'kan? Kalo gitu ... apa bisa aku minta janji itu dilunasi? Apa bisa .... kamu berhenti pura-pura lupa aku?

Alta segera menggulingkan badan sampai berhenti di ujung ranjang. Dia menurunkan kaki, berlari untuk mengganti pakaian dan segera keluar kamar terburu-buru, bahkan membanting pintu cukup kuat. Beruntung tidak membuat kenop terlepas.

Sambil menuruni anak tangga, Alta melihat pesan lainnya yang dikirim oleh Aila. Senyum merekah di wajah pemuda itu. Matanya berbinar, bagai anak anjing kecil menemukan tulang raksasa.

Kamu lagi ngapain? Udah hampir seminggu kamu enggak ke klub seni. Kenapa? Sakit atau karena ada aku? Aku di taman dekat sekolah sekarang. Kalo kamu enggak benci aku, mari ngobrol, Alta.

Alta terkikik lalu segera mengenakan sepatu sambil bersenandung usai menyimpan ponsel ke saku jaket. Dia memutar kenop pintu depan perlahan, masih dengan mata terpejam, menikmati lirik dalam hati seakan membuat konser akbar di imajinasi.

"Al, kamu bisa senyum juga?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Alta membuka netra pelan, melunturkan lengkungan manis pada bibir lalu berganti wajah tanpa ekspresi.

"Kenapa Ayah ke sini hari ini?" tanya si pemilik gingsul lalu mengunci pintu dari luar.

"Ini rumah ayah juga, ayah mau lihat keadaan kamu. Tapi kayaknya kamu lagi bahagia," ujar pria paruh baya di sana. Bisa dia lihat rona merah memenuhi telinga Alta dari belakang.

Setelah berbalik, Alta menggaruk belakang kepala. Dia mengalihkan pandangan dengan sedikit memajukan bibir. "Saya mau ke mana aja, itu bukan urusan Ayah," ujarnya dengan menyodorkan kunci.

Sang Ayah berhasil dibuat menggeleng oleh pernyataan tersebut. Namun, melihat senyum Alta beberapa saat lalu sudah cukup untuk tahu tentang kondisi putra sulungnya itu.

Dia mengambil kunci yang diberikan Alta, kemudian memandang pemuda bergingsul menjauh dari sana tanpa mengatakan apa pun.

***
Seorang gadis duduk di bangku taman sambil memangku ransel. Dia menunduk, melihat kaki yang diayunkan berlawanan arah sambil menggigit bibir pelan. Rambut yang tidak ikut terikat, diselipkannya ke belakang telinga.

"Aila!"

Si pemilik nama mengangkat wajah, melihat sang pemanggil dengan sedikit menengadah. Tampak seorang pemuda tengah berdiri di sana dan tersenyum lebar hingga mata kecil itu tertutup.

"Kak Langit! Kenapa bisa di sini?" Aila menggeser bokong ke kiri, berdiri dan berhadapan langsung dengan si pendatang.

"Aku baru balik pinjem buku untuk ujian. Kamu sendiri ngapain di sini?" tanya Langit dengan menunjuk ransel si lawan bicara.

"Hm, aku tungguin Alta," jawab Aila singkat, tampak tangan berada di kalung kupu-kupu yang dikenakan.

Setelah itu hanya ada hening, Aila menggigit bibir, melihat ke sembarang arah karena ada begitu banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan. Namun, mengingat kembali hubungan dirinya dengan Langit tidak begitu dekat, langsung diurungkan dalam-dalam.

"Aila ...."

"Ya!" sahut Aila cepat sebelum Langit menyelesaikan kalimatnya.

Sang kakak kelas tertawa sebentar, kemudian berujar, "Aila, maaf untuk yang terjadi waktu itu. Aku enggak bisa benerin tentang tindakan aku. Tapi, aku enggak mau buat kamu berharap sama cowok kayak aku. Mungkin aku orang baik, tapi bukan cowok yang pantas untuk kamu."

Aila menunduk, memandang sepatu yang dikenakan lalu kembali menatap netra di balik kacamata itu. "Aku ngerti, Kak. Terima kasih udah mau pergi jalan sama aku meski itu karena ajakan Alta," ujarnya dan tersenyum tipis.

Langit mengelus puncak kepala Aila pelan, tetapi masih tetap mendapatkan respon sedikit terkejut dari gadis berlesung pipi itu. "Sama-sama, Aila. Semangat untuk klub melukis kamu, ya?"

Senyum di wajah si pemilik dimple semakin terlihat, dia mengangguk dan menunjukkan deretan gigi rapi putih itu, kemudian berujar, "Terima kasih untuk semangatnya, Kak."

.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman, selamat berpuasa untuk esok lagi UwU ❤️😗

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now