Akhirnya di Perpustakaan Sekolah

102 27 37
                                    

Debu bertebaran di mana-mana, membuat seorang gadis yang memegang kemoceng bersin. Jika dihitung mungkin sudah lima kali dia mengeluarkan ingus dan ludah ke pemuda di sebelahnya. Namun, tidak ada keluhan apa pun dari korban.

Si pemilik dimple menggosok hidung, merasa gatal menguasai lubang sampai akhirnya menyembur liur untuk kesekian kalinya. Dia menoleh ke samping, memperhatikan orang di sana sambil tersenyum kikuk.

"Maaf, Alta," ujar Aila. Tampak netra hitam itu tertutup dengan mulut hendak menganga, mungkin ingin mengulang lagi apa yang telah dilakukannya beberapa saat lalu.

"Enggak apa, saya suka, kok!" sahut si lawan bicara sambil mengusap lengan yang ternodai sedikit ludah. Lagi.

"Kamu suka bersin?" Aila menaikkan kedua alisnya sambil mengelap hidung dengan punggung tangan.

"Bukan, tapi saya suka dekat kamu." Alta melangkah ke kanan satu kali, membuat bahu bersentuhan dengan sisi tubuh si pemilik lesung pipi.

Aila mengembuskan napas lelah, memukul bahu Alta menggunakan kemoceng sampai pemuda itu meringis pelan.

"Gombalan kamu itu kayak sayur tiga hari, basi," ujarnya dan melangkah dua kali ke kanan, beralih ke rak buku yang lain untuk dibersihkan.

Alta mengulum bibir, berdecih sebal lalu kembali sibuk dengan tumpukan buku di depan. Menyusun sesuai nomor yang ada di samping benda itu.

Ketika mendengar decitan sepatu dari sebelah, Alta berpaling dari aktivitasnya. Dia menatap Aila sibuk melompat untuk mencapai bagian atas rak. Gingsul tampak dari balik bibir tipis tersebut, terkikik pelan si pemuda bermata cokelat itu karena tingkah subjek yang diperhatikan begitu menggemaskan dengan mengambil ancang-ancang mundur, kemudian melompat, tetapi masih saja tidak cukup untuk menggapai target.

Setelah meletakkan buku di lantai, si pemilik gingsul berjalan menjauh dari sana. Dia kembali sambil membawa bangku plastik kecil dan mendekati Aila. Alta mengangkat tangan, meletakkan ke dahi gadis itu dari samping agar berhenti dari aksi sia-sia tersebut.

"Saya bawa ini," ujarnya dengan menunjukkan barang bawaan di tangan kiri.

Aila menepis tangan Alta, melirik ke bangku bewarna merah muda di tangan pemuda itu. Dia menggeleng lalu berujar, "Aku bisa sendiri."

"Kamu mau pake ini atau saya gendong?" tawar Alta dan merentangkan kedua tangan.

Mata Aila membola. Dia segera menyambar barang bawaan Alta dan meletakkan ke bawah untuk digunakan.

"Kamu seharusnya enggak boleh sembarangan bicara gitu."

Aila mengoceh sambil menggerakkan kemoceng di sana, mengucapkan beberapa patah kata petuah seperti orangtua menasihati anaknya. Tanpa sadar, dia terus bergeser ke kanan sampai kaki tidak lagi berada pada bangku, bahkan benda yang dipegang pun terlempar entah ke mana.

Aila pasti akan terjatuh jika saja Alta tidak dengan sigap meraih pinggang ramping itu dan menarik hingga si pemilik terpaksa memegang bahu sang penyelamat.

Jarak di antara dua insan tersebut sangat dekat, Alta melihat netra hitam milik Aila dengan sangat dalam, seakan menembus segala keindahan yang terletak pada manik legam di sana, bagai tenggelam ke dasar laut biru yang mampu mengantarkan hawa sejuk dalam dada pemuda itu.

Aila menelan ludah berat, mata bulat itu membola saat terasa pegangan di pinggul semakin erat. Dia menggigit bibir bawah, bernapas perlahan, seolah oksigen yang tersedia di muka bumi menipis seperti jarak antara dirinya dan Alta sekarang.

"Kamu mau turun sendiri atau saya gendong untuk turun dari bangku?"

Pertanyaan itu keluar bersamaan dengan rengkuhan pada pinggang melonggar, membuat sang empu menarik diri menjauh dan berdiri, kemudian turun secepat kilat.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang