Perayaan Untuk Rasi yang Cantik

51 23 17
                                    

Suara teriakan memenuhi telinga Alta ketika orang-orang keluar dari wahana di depannya. Dia menelan ludah berat, memandang ke kiri dengan wajah mengiba. Subjek yang ditatap menoleh, tersenyum sangat lebar hingga lubang kecil di pipi terlihat.

Alta meringis pelan, memaksa melengkungkan bibir ke atas karena tidak mau yang diajak pergi sedih. Kembali dia melihat bangunan di depan lalu menunduk dan memukul kedua kaki pelan supaya tidak bergetar.

"Kamu beneran mau masuk ke sana, Aila? Saya pikir, kita bisa naik yang lain, mungkin komedi putar? Itu kelihatan aman dan terang," ujar Alta setelah mereka melangkah ke tempat pemberian karcis.

Aila menepuk punggung si pemilik gingsul, berusaha memberikan semangat agar pemuda itu tidak terlihat bagai mayat mati dengan wajah pucat serta tubuh lemas bagai jelly.

Usai membungkuk dan tersenyum kepada penjaga tempat, Aila menarik lengan baju Alta yang sudah pasrah untuk ikut masuk. Dia memegang senter pada tangan kiri, mengarahkan ke tempat gelap yang tengah ditelusuri.

Ketika suara decitan pintu dan bantingan keras terdengar, Alta meloncat lalu langsung bersembunyi di belakang tubuh Aila. Dia memegang pundak itu dengan wajah menyembul dari samping wajah sang empu. "Ka-kamu yakin kita enggak balik aja? Di sini gelap, saya enggak suka karena enggak bisa lihat kamu, Aila," ujarnya dan mengeratkan genggaman.

Aila menggeleng setelah menghela napas. Dia menggoyangkan bahu agar terlepas dari cengkeraman kuat Alta. Mulai gadis itu berbalik, kemudian mengarahkan sinar senter ke wajah sendiri secara mendadak.

"Akh! Aila, jangan gitu, saya takut!" pekik Alta dan menjauhkan penerang dari paras cantik itu.

Si pemilik lesung pipi tergelak karena tingkah Alta yang dianggap begitu lucu. Tubuh tinggi hampir seratus delapan puluh sentimeter itu seolah tidak ada apa-apanya jika sudah begini, bahkan pemuda tersebut sekarang waspada dengan sekeliling, seperti tentara yang berada di medan perang saja.

Oh, ayolah! Alta mengajak Aila ke taman hiburan bukan untuk ini. Dia ingin naik bianglala duduk berduaan dengan si rasi cantiknya sambil memakan permen kapas merah mudah. Namun, sekarang di sinilah mereka, dalam kegelapan dengan sinar lampu merah dan beberapa kepala tengkorak sebagai penghias tembok serta pilar.

"Kamu jangan pegang bahu saya, Aila," ujar Alta saat merasa sesuatu menyentuh pundak.

Aila mengernyit, mengangkat kedua tangan dengan senter pada salah satu, kemudian berujar, "Kamu pikir aku ini apa? Tangan aku cuma dua, Alta."

Mendengar jawaban itu, si pemilik gingsul menegang bersamaan mata membola. Dia menelan saliva berat hingga terdengar bunyi glek lalu berbalik secara perlahan.

"Akkkhh!"

Alta berteriak cukup kuat saat sosok berbalut perban mendekat, ditambah kepala dari sosok itu juga ikut tertutup. Dia menarik napas pelan, menutup mata lalu tumbang tepat di depan Aila dan sang hantu berwujud mumi.

Sambil terpelongo, Aila menatap orang yang membuat Alta pingsan. Dia tidak takut sama sekali, bagaimanapun hantu yang ada di sana tetaplah manusia juga, 'kan? Darah pada mereka juga hanya buatan, tidak benar-benar nyata.

Aila menunduk, memandang apa yang disodorkan sang mumi lalu mengernyit menatap sosok tersebut lagi. "Apa ini?" tanyanya pelan.

Usai meraih dompet dan membukanya, Aila mengangguk pelan lalu terkikik geli saat melihat sang pemilik benda yang sudah terkapar bagai jelly rasa cokelat. Dia kembali melihat sang mumi yang sudah berjongkok hendak membantu Alta, kemudian berujar, "Terima kasih udah dibalikin."

***
Alta mengerutkan bibir, melirik ke samping, tempat Aila duduk. Sedari tadi gadis itu tidak berhenti tertawa, mengingat sore ini si pemilik gingsul berhasil membuatnya terkejut sekaligus direpotkan. Pemuda tersebut berdecak, mengalihkan atensi penuh ke jalanan melalui jendela, benar-benar malu jika terus mengingat kejadian di wahana hiburan beberapa waktu lalu. Dimulai dengan pingsan, terpaksa digendong oleh petugas, bahkan terbangun dalam ruangan kerja para petugas di sana.

Sambil mengatur napas, Aila mengusap ujung mata dengan telunjuk. Dia masih sedikit terkikik, tetapi tidak bersuara lagi, mungkin sudah terlalu banyak energi terkuras. Ketika melihat lagi Alta, senyum mengembang pada wajah gembil ber-dimple itu.

"Terima kasih, Alta. Aku pikir hari ini adalah perayaan ulang tahun yang menyenangkan," ujarnya masih betah memasang lengkungan bibir manis tersebut.

Alta menoleh, menjauhkan siku dari jendela lalu membenarkan posisi duduk agar tidak merosot. Dia berkedip pelan dengan sedikit mengerutkan bibir, kemudian menggeleng. "Itu masih perayaan untuk kamu, Aila. Kalo kado ulang tahunnya, masih belum. Sekarang, saya mau ajak kamu ke tempat yang cantik," ujarnya dengan sedikit menaikkan leher, memantau pemberhentian setelah halte yang dilewati.

"Kenapa kamu persiapkan ini buat aku?" tanya Aila masih memandang Alta yang kini sibuk dengan ponsel pintar.

Setelah mengetikkan beberapa pesan dengan alis bertautan, Alta membalas tatapan itu. Dia tersenyum lalu mengangkat kedua bahu satu kali. "Entahlah, saya pikir, kamu kelihatan lebih cantik waktu senyum dan saya mau jadi alasan untuk itu, Aila," ucapnya sambil memasukkan ponsel ke saku celana.

Sementara itu di tempat lain pada waktu yang sama. Indah dan Zidan sibuk menata meja berbentuk bundar yang ada di tepi danau. Mereka sudah memastikan sekitar telah sedikit sunyi, mengingat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

"Kamu jangan angkat yang berat," larang Zidan lalu menghampiri Indah.

"Zidan, ini cuma lilin kue, bahkan enggak sampe satu ons," sahut si pemilik rambut sebahu lalu terus berjalan menuju meja.

Mendengar penolakan itu, Zidan hanya menggaruk tengkuk. Dia juga tahu berapa berat lilin kecil itu, tetapi bagaimanapun sebenarnya yang diinginkan hanyalah berbicara kepada Indah. Meski sekadar sapaan atau larangan, setidaknya itu cukup mengisi kesunyian tempat.

Indah meletakkan beberapa tangkai bunga matahari yang diikat dengan pita hitam ke atas meja. Memastikan meja kayu bewarna putih itu tidak goyang atau rusak. Kemudian, sambil memegang dagu, sosok itu mengangguk, meraih lentera yang ada di pinggir dan membawanya sedikit ke tengah.

"Apa yang kurang?" tanya Zidan saat sudah berdiri di belakang Indah.

"Apa, ya? Kayaknya udah semua. Menurut kamu apa yang kurang, Zidan?" Indah balik bertanya, sedikit menengadah ke samping agak belakang.

"Kurang beberapa inci ke belakang," jawab si pemilik rambut ikal.

"Hm? Apa yang mau dimundurin?"

"Kamu," ujar Zidan, kemudian berlari menjauh dari sana seperti atlit nasional.

Indah berkedip dua kali, memandang pohon yang berada beberapa meter dari sana, tempat Zidan menyembunyikan diri sekarang. Dia menggeleng lalu bergumam, "Sedikit agak enggak cocok kalo modelan serius kayak dia ngegombal." Kemudian, seulas senyum tipis terlukis di wajah tirus tersebut.

.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman, share terus follow juga yaaakkk😗❤️
.
.
.

To Be Your Starlight [Terbit✓]Where stories live. Discover now