I

140 81 105
                                    

Dè Javu

◐◒◓◑

"Ooh, watching volley is boring¹," ia bisa mendengar Zoey dan Celline mengejek nada bicaranya tadi.

"Come on guys, i didn't expect watching volley was that fun²," Harsa menyanggah kikuk, ia masih malu mengingat- ingat kejadian yang membuat tatapan mata seluruh penonton mengarah padanya.
Bagaimana tidak ia berseru kencang sekali di bioskop, mana dinding bioskop memantulkan gema lagi, malu kuadrat. Bisa, ya, tidak sadar berteriak antusias di bioskop, ia tidak menduga menonton voli memang seseru itu.

Celline dan Zoey hanya terkekeh pelan.

"Dibilangin," celetuk Zoey.

"Tapi 'Ars, tadi kamu ngapain teriak-- pfft-- " kalimat Celline tersendat oleh tawanya yang meledak.

"IYA! Kaget asli," Zoey menambahi.

"Kamu teriak paling kencang tadi di bioskop," semprotnya lagi, membuat wajah Harsa memerah sampai ke telinga.

"Yah, gak sadar kalau teriak, udah, ah, aku malu," Harsa meringis.

Astaga, ini di jalan, kalau mereka terus tertawa seperti bapak-bapak yang berbincang di teras rumah, mereka akan jadi pusat perhatian.

"Omong-omong, buat organisasi kampus kalian daftar apa?" Celline membuka topik percakapan.

"Huh? Udah dibuka?" Zoey bertanya.
"Udah, Zoey. Kemarin ditempel di mading," jawab Harsa.

"Zoey, mah, kalau ada mading lewat aja."

Mereka terus berbincang tentang banyak hal seiring jalan ke busway. Zoey dan Celline pulang ke rumah mereka masing-masing, sedangkan ia ke apartemen. Yup, ia tinggal di apartemen sekarang untuk kuliah di Wina.

Mereka melambaikan tangan sebentar sebelum masuk ke bus yang berbeda.

◐◒◓◑

Matahari beranjak ringsut ke barat, malam mulai datang. Mereka sudah tiba di rumah masing-masing, termasuk Harsa, yang kini mulai memasukkan kode pintu apartemen dengan menggigil, udara dingin saat malam di Wina memang tidak main-main. Sekali, pun, ini musim gugur.

Begitu masuk ke dalam ia menutup pintu, meletakkan sepatunya di rak, melepaskan jaket dan kaus kakinya. Kemudian langsung rebah ke kasur, menggulung tubuh dengan selimut tebal seperti roti croissant.

Harsa menatap langit-langit, perasaan Dè Javu kembali menguasai dirinya. Saat ia berteriak di bioskop tadi, ia merasakannya lagi. Suasana 'sudah pernah' yang familiar. Tapi dimana, ya?

Sampai kapan ia akan terus terbayang-bayang dengan ingatan tidak pasti? Sepertinya amigdalanya terlalu pandai berimajinasi, lalu membuat rekayasa tentang ingatan. Mungkin? Itu alasan paling logis bagi Harsa. Yeah, setidaknya, untuk saat ini.

Matanya bergulir, bersitatap dengan jam di dinding.

Tik.

Tok.

Tik.

Ia bisa melihat jam dinding tertawa ke arahnya. Menertawakan kebodohannya—semakin tajam ia tatap jam dinding itu.

Belum bosan ia perang batin dengan jam dinding, suara bel di apartemennya berbunyi.

Ting.

Tong.

Perempuan berambut sebahu itu berjalan gontai menuju pintu, langkah kakinya diseret, keengganan teramat jelas tercetak di wajahnya. Ia menghela napas keras-keras, sebelum tersenyum lebar sambil membuka pintu.

"Selamat dat—"

Hening.

Tidak ada siapa-siapa. Harsa mengerutkan dahinya, ia mengedarkan pandangannya mencari-cari siapa—yang dengan kurang kerjaannya memencet belnya malam-malam begini.

Sampai akhirnya matanya menangkap kotak kardus yang tergeletak di depannya—sengaja ditaruh disitu.

Ada sticky note berwarna pastel di atasnya—ia mengambilnya.

'Saffron untukmu, Harsa.'

-K.

;delivery/ 20 March 2021

   
II Fin.

#exproject

Amigdala,  COMPLETEDWhere stories live. Discover now