IX

64 46 8
                                    

Selamat membaca fren  ( ˘͈ ᵕ ˘͈♡)

◐◒◓◑

Kita sering lupa bahwa berdoa itu meminta bukan memaksa.

◐◒◓◑

"Hah heh mulu kaya keong, tungguin itu nanti ada filmnya," ucap Kastara agak kesal. 

Harsa tidak mengerti apa yang diucapkan Kastara. Disini tidak ada LCD, atau layar bioskop. Lagian seriusan mau nonton di kebun salak malam-malam? Nonton apa? Yang ada dia jadi tontonan dedemit. 

"TUNGGU jangan dengarkan dia—akh!"

Tuh, kan. Tuh, kan. Demitnya muncul. Demi kentaki di warung mang donal, ia bisa dengan jelas melihat dengan mata kepala sendiri ada orang yang tertatih-tatih, berlumuran darah! Kalau bisa lengkap ia ceritakan di podcast horror, pasti lumayan untuk—

Sayup-sayup ia mendengar kepakan sayap dari atas, mendorong rambut kuncir kudanya sampai melayang. Ia mendongak ke atas, matanya membulat.

Allahuakbar, La ilaha ilallah, la haula wa la quwwata ila billah, Attahiyatu mubarakatush shalawatutayibatu lillah. Semua do'a yang ia hafal ia racaukan kacau, badannya kaku, keringat sebiji kelengkeng terasa mengaliri pelipisnya sekarang. 

Di atasnya ada sosok dengan sayap hitam--jingga? Entahlah, sedang terbang. Rambutnya panjang sampai mukanya tidak kelihatan. Kelihatannya sih perempuan—kelihatannya sih.

Duh katanya kalo bisik-bisiknya deket berarti jauh. Tapi kok ini deket banget Allahuma. Rasanya hanya beberapa inci makhluk itu bisa menyambar kepalanya, menculiknya ke alam lain.

"Kast, Kast, " Harsa spontan bersembunyi di balik bahu Kastara. "Lo kalau uji nyali jangan ajak gue dong, gue ada penyakit jantung ini," desaknya pias. Napasnya tersendat-sendat.

Di luar dugaan, bukannya menenangkan, yah dia berharap apa, sih dari Kastara begini. Kastara malah memandangnya mengejek, kemudian ia terkekeh pelan, mendorong Harsa menjauh dari bahunya. "Lo jangan katrok gini deh."

"Itu hologram," desisnya menjelaskan. Harsa mengernyit heran, ia dibawa ke dekade mana, sampai ada hologram secanggih ini. Sampai-sampai ada efek angin dan suaranya. Tapi ia lega ternyata itu bukan hantu seperti yang ia pikirkan.

Melihat tatapan bertanya Harsa, Kastara mendesah malas. "Udah lo nonton aja filmnya aja, gih."

Harsa mengiyakan, melanjutkan menonton film yang lebih mirip pertunjukan ketoprak di kebun salak, terasa nyata, dan dekat. Seolah mereka sedang live akting di depannya. Bedanya, mereka tidak bisa melihatnya dan mendengarnya, gara-gara sejatinya, seperti kata Kastara. Mereka itu hologram, berlompatan sangat nyata di kebun salak malam itu. Penontonnya cuma mereka.

◐◒◓◑

Euglen terus terbang ke atas bersama sayap hitam suam-suam jingganya. Volvox tertatih-tatih berteriak dari bawah, perutnya berlumuran cairan yang Harsa yakini itu darah.

"Volvox! HEI! Sadarlah! Jangan biarkan dia-" Euglen terbatuk, pria itu terduduk terengah-engah, mengatur napas paru-parunya yang sekarang jual mahal dengan oksigen. Ia menahan darah di lukanya agar berhenti mengalir, tangannya yang lemah, penuh dengan warna merah, bahkan warna pucat kulitnya tidak mendapatkan ruang.

Harsa meringis, kelihatannya sakit. Ia ingin menolong, tapi sia-sia juga menolong hologram.

Volvox memandang ke atas, "Berhen..ti..," gumamnya pelan. Kelihatannya sesuatu sudah terlambat, ya, Volvox. Deospir sudah mengambil alih tubuh Euglen. Orang itu menipunya, katanya dia akan membantu Euglen, tetapi nyatanya dia merebut kekuatannya. Pelajaran baginya untuk tidak gampang mempercayai orang begitu saja.

Pupil hazelnut Euglen berubah menjadi pupil berwarna ungu menyala. Tercium bau anyir dan berat kemarahan dan keputus asaan.

 Hologramnya canggih sekali, bisa mempunyai efek bau aroma. Harsa menggeleng- geleng tidak kepikiran.

◐◒◓◑

Cairan bening mengalir dari matanya seiring dengan darah yang meleleh dari hidungnya. Volvox mengangkat kepalanya, menatap Euglen--Deospir dari atas. Ah, kenapa langit terlihat goyang disko sekarang, ia juga bisa merasakan kakinya perlahan berubah menjadi puding. Tidak membantu sama sekali. Tapi kalau misalnya itu puding rasa mangga, ia ingin membaginya dengan Euglen. Euglen tidak suka puding rasa mangga. Ia suka yang rasa anggur. Katanya apa-apa yang berasa anggur itu enak. Puding anggur, roti isi anggur, selai anggur, jus anggur, parfum aroma anggur, celana warna anggur, pelicin rasa anggur, garam anggur, oli anggur...

Deg! Volvox terkesiap, jantungnya berhenti berdetak. Ia tidak bisa lama-lama melamunkan anggur-angguran. Sakit sekali, kalau kalian ingin tahu. Rasanya paru-parunya dihantam godam seribu kali hingga hancur. 

Tubuhnya bergetar hebat, dirambati oleh gelenyar aneh yang ia tidak pernah rasakan sebelumnya. Mungkin gelenyar itu hanya dirasakan oleh orang yang mau mati Euglen, seperti ditarik-tarik tetapi tidak kunjung tertarik. Darahnya naik, terdorong keluar melewati kerongkongannya, dan berujung menyembur melalui mulutnya. Darah itu sudah bebas, keluar dari penjara tubuh penyakitannya.

Terengah, rasanya sakit sekali. Sekali, pun, tangannya hanya berniat mengusap darah di mulutnya, rasanya tidak kalah dari dipatahkan tulang dua belas kali.

Pandangannya menggelap. Rasa sakit mulai mengambil alih kesadarannya. Sebelum itu, tolonglah. Ia ingin berteriak sekali saja. Mata wisteria-nya berkedip, mengernyit melihat sayap Euglen yang berkibar di atas langit, ia tersenyum. Ia tahu apa yang ingin dia teriakan.

"EUGLEEN!!" teriaknya sekeras mungkin, lolongnya panjang di akhir memudar. 

Ini pasti ilusi karena sekarang ia bisa mendengar suara ibunya memanggil untuk sarapan, suara denting piring yang sedang dicuci setelah sarapan bersahutan dengan suara ceria adiknya saat menyanyi, disambut suara berwibawa ayahnya menasehatinya tergilas suara halus Euglen yang menutup melodi memento di kepalanya itu.

Semuanya begitu putih dan murni, hanya seperti yang Volvox inginkan. 

◐◒◓◑

Chap IX Fin

Hai, gimana ceritanya?

Silahkan comment
Jangan lupa vote ૮₍˶ᵔ ᵕ ᵔ˶₎ა

Thankiess ♥

-z

#exproject

Amigdala,  COMPLETEDWhere stories live. Discover now