VIII

62 46 16
                                    

Selamat membaca fren  ( ˘͈ ᵕ ˘͈♡)

◐◒◓◑

Hadiah ada tidak hanya dalam bentuk barang bagus atau mewah, kadang-kadang hadiah muncul dalam bentuk kehadiran.

◐◒◓◑


note sebelum membaca;
kata ganti pakai lo-gue karena latar melokal, sementara kemarin di luar negeri dan antah berantah.

◐◒◓◑

Sehari setelah mimpi anehnya, Harsa terbangun dengan linglung. Pikirannya masih nyantol dengan mimpinya kemarin. Soal bagaimana wajah pemuda dalam mimpinya berlompatan di dalam pikirannya. Sungguh mengganggu, tapi ia tidak protes juga.

"Harsa," panggil bapak dari ruang tengah.

"Iya, pak?" sambut Harsa, berjalan ke ruang tengah.

"Besok temani bapak ke—"

"Studio tempat bapak siaran biasa?"

Bapak tersenyum, "Mau, ya?"

Harsa mengangguk mantap, "Siap! Mau siaran tentang apa, pak?"

"Ada nanti, dengarkan saja di podcast."

Harsa mengiyakan, sebelum kemudian pamit untuk kuliah, meninggalkan bapak di ruang tengah dengan kopi kahwah kesukaan beliau.

◐◒◓◑

Begitu ia sampai di kampusnya, ia disambut oleh Tama yang dengan heboh memotretnya menggunakan blitz, Danne di belakangnya ngintilin.

"Apa, sih?" Harsa protes terganggu. Tetap saja, walau dia sudah biasa dengan Tama yang suka memotret-motret tanpa permisi.

"Memotret objek," timpal Danne, Tama mengangguk-angguk.

"Ga jelas," Runa datang, dengan wajah yang sama kesalnya, rambut coklat pendeknya bergoyang tertiup angin.

Tama ganti memotret Runa.

Ckrek. Ckrek.

"Tama!" teriak Runa menegur.

"Iya, iya, orang ini dokumentasi," cakap Tama.

"Dokumentasi apa?" tanya Runa.

Danne mengangguk, menutup matanya dramatis.
"Soalnya ini bakal jadi dokumentasi persahabatan kita selama—"

"Halah halah," potong Runa.

Harsa terkekeh pelan melihat kelakuan teman-temanya.

◐◒◓◑

Setelah kuliahnya yang melelahkan, Harsa pulang ke rumahnya naik metromini yang sering ditumpanginya.

Hembusan napas lega terlepas kala ia sampai di rumahnya—dengan selamat, alhamdulillah. Bergegas ia meletakkan tasnya, bersitapak menuju kamarnya.

Setelah membersihkan dirinya, ia membuka laptopnya.

Ada skripsi yang sudah menunggu untuk dikerjakan.

◐◒◓◑

Tidak terasa waktu sudah beranjak menuju jam sembilan. Harsa menguap, ia menutup laptopnya, begadang itu tidak baik ya teman.

Suhu di kamarnya menghangat, angin malam yang sepoi-sepoi meliuk dari ventilasi kamarnya. Ah, dia mengantuk.

Memejamkan mata sebentar saja tidak apa-apa, kan?

◐◒◓◑

Harsa terbangun kala ia merasakan angin semakin dingin menusuk kulitnya yang tidak memakai jaket.

Dimana..?

Harsa bergidik ngeri dan kedinginan, di hadapannya terbentang kebun salak sejauh mata memandang. Fakta kebun salak yang berada di dataran tinggi semakin memperdingin udara.

Bagus, kemarin ia bangun tahu-tahu di kebun saffron, sekarang di kebun salak? Besok apa? Kandang sapi? 

Dan parahnya ini malam. Dan dia sendirian. Dan hari ini kejora pelit berkedip. Dan di kebun salak biasanya banyak ularnya. 

Harsa bergidik ngeri, kenapa, sih, mimpinya selalu saja aneh-aneh?

Duh, jangan-jangan ini bukan mimpi. Ia melirik bajunya, masih baju yang sama dengan yang ia pakai saat mau tidur. Tapi itu tidak menjamin, kan, kalau dia benar-benar bermimpi. Bisa saja dia nglindur atau apa, lah, bisa sampai ke kebun salak begini. Mana dia tidak tahu ini kebun salak mana.

"Tidak apa-apa, kau tidak perlu memberi tahu orang lain," bisik sebuah suara.

"Aku takut, Euglen," balas suara lain, suara itu memekik, meringis.

"Apa yang kau takutkan?"

Apa yang kau takutkan? Ia takut sekali gila. Harsa merapatkan pelukannya ke lengannya, suara berbisik-bisik itu terasa dekat di telinganya, menyembur-nyembur bersama angin malam. Matanya bergulir mengelilingi sekitar kebun salak, ia tidak menemukan pergerakan insan yang berbisik-bisik itu. Kelihatan saja tidak. Siapa juga Euglen? Persetan dengan dia, ia hanya ingin pulang sekarang. Ia ingin cepat-cepat keluar dari situasi tidak jelas ini.

"Harsa," sebuah tangan menyentuh pundaknya.

Deg!

Siapa yang menyentuh pundaknya kali ini?
Harsa hampir saja memekik kaget. Kalau saja ia tidak menoleh, dan melihat wajahnya. Meskipun remang-remang, Harsa masih bisa mengenalinya. Wataknya masih sama, suka muncul tiba-tiba.

Harsa menghela napas lega, setidaknya ia tidak sendirian di kebun salak ini. Satu hal yang pasti, untungnya dia bermimpi. Kehadiran pria ini membuatnya yakin kalau dia ini sedang bermimpi. Karena pria ini terasa sangat tidak nyata, entah dari sikapnya atau bentuk wajahnya. Hadir seolah ia bisa hilang kapan saja kalau dia bangun.

"Raja?" tanyanya memastikan.

Pria itu menggeleng pelan. "Gue bukan raja lagi."

"Hah? Lo lengser jabatan apa gimana?"

"Enggak," pangkas pria itu, "Dan, btw, nama gue Kastara. So, stop panggil gue raja."

"Okay, Kastara," Harsa memandang sekeliling. Akhirnya dia bisa mengetahui namanya, setelah sekian hari tersesat di kebun saffron bersama kucing, gelut dengan tukang roti, mengurus lima anak yang namanya urutan waktu, menghadiri penobatan yang heboh, dan—ah, ditabrak anjing saint bernard yang kerasukan. 

"Lo udah ganti mimpi, bahasa gampangnya, kemarin kan mimpi lo di kerajaan, sekarang mimpi lo di kebun salak," papar Kastara, rambutnya bergerak-gerak dihembus angin malam.

Ia menghela napas keras-keras, memijat pelipisnya yang terasa pening, "Sekarang lo bisa jelasin gue ada di kebun salak dimana?"

"Di Bandung," ujar Kastara pelan, ia memandang Harsa sebentar sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke kebun salak yang luas. "Kalau lo mau ambil salak, gratis kok. Gratis dipukuli warga," celetuknya.

Perempuan berambut sebahu itu mendengus, "Gahh, emang gue ke sini mau jadi maling salak?"

"Iya, nggak. Lo kesini buat nobar," gumam Kastara menunggu. Seperti menunggu sesuatu muncul dari balik gelap malam kebun salak. 

"Nobar?"

◐◒◓◑

Chap VIII Fin.

Hii, gimana ceritanya?

Silahkan comment
Jangan lupa vote ૮₍˶ᵔ ᵕ ᵔ˶₎ა

Thankiess ♥

-z

#exproject

Amigdala,  COMPLETEDDonde viven las historias. Descúbrelo ahora