V

116 67 139
                                    

     
Selamat membaca fren  ( ˘͈ ᵕ ˘͈♡)
anyway, kucing diatas itu visual pastel.

◐◒◓◑

Kadang, tidak tahu itu bisa jadi anugrah.

◐◒◓◑

Tiga puluh menit Harsa berkutat dengan loyang tepung di tangannya. Tidak sadar beberapa butir tepung kabur dari loyang. 

Saat ia berpisah dari pangeran tadi, ia berjalan ke arah perumahan. Celingukan mencari orang yang bisa dimintai tolong— ia bahkan sudah lupa sepenuhnya dengan Pastel, kucingnya. Dan menemukan keributan di bakeri toko. Bakeri itu kecil, tapi ramai. Terhimpit toko daging dan toko perabotan. Kasak-kusuk berisik di toko itu sangat kontras dengan aroma wangi roti yang baru selesai dipanggang.  

Pelayan toko memasang ekspresi terbaiknya, menyambut Harsa di samping pintu.

"Selamat datang."

Ia mendekati keramaian, berdesakan tabrak sapa dengan bahu, mendapati seorang nenek sedang bertengkar dengan pemilik toko roti. Bahunya bergetar kala ia berteriak, nenek itu sudah sepuh tapi sungguh gigih. Apa sebenarnya yang didebatkannya?

"Kau bilang roti ini lima ribu satu, aku membayar tiga puluh lima untuk enam potong roti? Bagian mananya yang kurang?"

"Siapa yang bilang roti ini lima ribu? Roti ini tujuh ribu di hari Jumat!"

"Mana bisa begitu!" Nenek itu meninggikan suaranya. Wow, nenek sebaiknya simpan suaramu, Harsa jerih memikirkan suara nenek yang mulai serak itu.

Harsa mengangguk-angguk setuju, apa bedanya membeli roti di hari Senin dengan hari Jumat? Tidak masuk akal.

"Kalau tidak mau beli disini, beli saja di tempat lain!"

"Tapi—" nenek itu berusaha berkelit.

"Hei," Harsa mengangkat tangannya, berjalan mencuat dari kerumunan orang. Demi Tuhan, Harsa, apa yang kamu lakukan? Jangan jadi sok pahlawan, itu keluar dari alur. 

"Apa ada peraturan tentang harga per hari, Sir?" kalimat itu melontar begitu saja dari bibir Harsa.

"Itu...kami mulai menjual roti lebih mahal di hari Jumat," cakap penjual roti tampak gugup.
"Untuk mengenang hari saat bakeri ini dibangun."

"Bukannya kalau begitu, bakerimu bakal sepi di hari Jumat. Kau mau bakerimu bangkrut di hari ulang tahunnya?" celetuk Harsa.

"Bocah, jaga ucapanmu!" pemilik bakeri itu hendak merangsek maju, sebelum bahunya ditahan oleh orang-orang di sekitar sana.

Harsa merasakan mata kirinya berkedut pelan, ia bisa melihat nenek itu menatap lekat ke arahnya dari ujung matanya. "Sudahlah! Beri nenek ini lima potong roti tiga puluh ribu apa susahnya, sih?! Kau tidak akan rugi tahu!" tangkas Harsa skak mat. 

Tiga puluh dan empat dua sebenarnya cukup jauh. 

"Apa kau sudah mengumumkan tentang peraturan itu?"

"Yeah, seharusnya kau mengumumkan dulu sebelum menjalankan peraturan. "

"Jangan asal main atur tanpa konfirmasi!"

Kali ini khalayak ikut andil, mereka merasa tak tahu peraturan hari Jumat harga naik dua ribu itu. Berseru-seru berang. Harsa menyeringai tipis.

Pemilik bakeri itu membulatkan matanya. Banyak pasang mata memirsa dirinya, duh, kan, jadi keki kalau mau teriak lagi.

Ia menghembuskan napas keras-keras, "Oke. Akan ku berikan roti harga normal padanya. Dan peraturan tadi... tidak jadi kujalankan. Tolong sudahi semua keributan ini." 

Amigdala,  COMPLETEDWhere stories live. Discover now