IV

92 66 35
                                    


Selamat membaca fren  ( ˘͈ ᵕ ˘͈♡)

◐◒◓◑

Untuk setiap orang yang kamu maafkan, kamu berarti telah menyembuhkan setiap lukamu sendiri.

◐◒◓◑

"Kastara."

Suara berat serak itu memanggilnya. Bagus, pria tua itu selalu muncul di saat yang tidak tepat, mood ramah-tamahnya buyar.

Ia menoleh enggan, baru sampai aula sudah dicegat begini.

"Follow me," perintahnya tegas.

Dengan gontai ia mengikuti langkah ayahnya pergi. Brengsek.

Lukisan-lukisan yang tergantung di dinding seolah mencemoohnya, berbisik ke lukisan sebelahnya. Lihat dia putra mahkota yang malang.

Ia terus melangkah—ke ruang singgasana.

"Ke mana saja kau ini?"
Ayahnya menatapnya dengan gusar, tampak sudah sangat muak dengan kelakuannya. Banyak kalimat ingin segera ia muntahkan, namun dia tahan.

Kastara ingin sekali menjawab, 'refreshing', 'menghindari orang bodoh', 'bermain-main', atau apa lainnya agar ayahnya marah.

"Maaf ayah aku agak tersesat tadi, aku berjanji tidak akan mengulanginya."
Kastara menggeram rendah, menunduk. Tidak ingin memperpanjang masalah.

"Kau tidak tahu seberapa pentingnya mengikuti latihan? Kau akan dinobatkankan, akan memimpin kerajaan ini, Kastara. Kau adalah satu-satunya anak lelaki selain kakakmu yang memberontak. Kau ingin jadi dia, hah?!"

Racau tanpa spasi sudah jadi ciri khas ayahnya kala menasehatinya.

"Ingatlah kalau kau ini putra mahkota! Kau tidak bisa lari dari kewajibanmu, jangan seperti kakak laki-lakimu!"

Ya. Ya. Ya. Pantas saja kakak memberontak. Ayah kira yang muak cuma ayah? Aku juga, yah. Kakak juga... Ibu juga.

Apa itu keluarga? Bukankah bagimu itu hanyalah rumah boneka, dan kami bonekanya, patuh menuruti keegoisanmu yang ambisius.

◐◒◓

Tapaknya bersicepat berlarian dengan napasnya yang memburu. Tujuannya hanya satu, halaman belakang. Burung-burung berkicau seolah membesarkan hatinya. Para lukisan masih menatapnya iba, berbisik-bisik, ia tak peduli.

Napasnya baru stabil saat ia sampai di halaman belakang—yang seperti zona nyamannya, atau lebih tepatnya zona healing untuk merapikan pikirannya yang acakadut.

Semua kemewahan di istana tadi tidak ada apa-apanya daripada sekotak saffron di halaman belakang.  Bunga-bunga ungu yang tidak dapat bicara itu bahkan membuatnya lebih hidup daripada pria tua yang kerjanya hanya menuntut setiap hari itu.

Kastara mengelus putik kuning bunga saffron itu. Rasa ingin kabur emang tidak jarang melintas, namun itu bukan masalah. Bunga saffron itu hanya membuatnya merasa masih berada di 'rumah.'

Saffron-saffron itu mengingatkannya pada ibu, dan satu lagi orang bodoh yang tersesat di kebun saffron.

"Kastara, lagi apa?"

Suara Kenari, kakak perempuannya memanggil. Kenari tersenyum, sudah lama ia tidak melihat Kastara serileks ini. Hampir setiap hari ia lihat  wajah Kastara yang selalu pias dan jengkel. Tapi kali ini tidak.

"Baru pulang, sih."

"Darimana aja?"

"Biasa, lah. Getting lost. "

"Are you found something? Or someone?"

"Huh? Why'd you ask that?"

Kenari terkekeh, "Insting."
Lagipula wajahmu seperti baru bertemu orang yang spesial, dik.

"Na-uh, aku nggak mau cerita sekarang."

"Okay, okay," Kenari melambaikan tangannya. "So, bagaimana dengan dia? Apa dia cantik? Wanita mana yang beruntung bertemu adik gantengku?" goda Kenari.

"Apa, sih? Aku tidak bertemu siapa-siapa," Kastara melotot.

"Hmm.. Omong-omong bagaimana dengan.. Dia?"

Dia yang mana?

Oh.

Kastara hanya sangat suka ketika kakaknya menggunakan kata ganti 'dia' untuk ayahnya, seperti orang asing. Yang mengawali panggilan ini adalah Kelana, kakak laki-lakinya yang memberontak kabur. Ia tidak tahu dimana sekarang Kelana berada, yang pasti ia kini merindukan ejekan basi miliknya.

"Brengsek, seperti biasa."

Kenari menghela napas, "Kamu tahu, dia memang seperti itu, tapi kamu nggak bisa benci dia terus-terusan, Kast. Kadang, memaafkan bukan pilihan yang buruk. "

"...apa kamu kesini untuk membujukku memaafkannya, kak?"

Kenari bergumam, mengetuk-ngetuk dagu, "Enggak, sih."
Urusan memaafkan atau tidak itu urusan mereka, bukan berarti kalau seseorang memaafkan suatu kesalahan, kesalahan itu dapat ditoleransi.

"Cuma.. dendam terus-terusan bikin lelah, kan?" Seperti digelandoti gajah di atas kepalanya. Berat, memuakkan.

"Mh, hm."

"Coba kau ingat-ingat kenangan indah bersamanya, Kast."

"Tidak tahu. Semua kenangan indah rasanya tergilas sejak ia memukul ibu."


Kenari menghela napas, "...yeah, orang bisa jadi sangat menakutkan saat marah. "

"Kalau ibu dan ayah berbaikan, apa kau akan memaafkan dia?"

"Aku tidak tahu. Yang aku tahu, orang bisa berubah," Kastara tersenyum getir, ia mendengkus pelan menahan gerutu yang ditutupinya.

"Tapi untuk memaafkan dia, kurasa aku belum siap."

Kenari balas tersenyum, ".. kay, kau memang adik laki-lakiku yang paling pintar."

Senyum itu, Kenari punya senyum ibu di senyumnya.

"Omong-omong, semoga penobatanmu lancar, Kastara." Kenari melangkah pergi. Seberapa, pun, kau membenci ayah, ini tidak hanya tentang perintahnya.

"Ingat tanggung jawabmu," ia berbalik. "Ingat ini," Kenari menunjuk dengan kepalan tangannya.

"Ingat dadaku?"

"Ingat hatimu, bego."

Tidak jadi, deh, ia tarik kalimatnya tentang adik paling pintar.

Chap IV Fin.

◐◒◓◑

Hai, gimana ceritanya?

Makasii udah baca,

Silahkan comment
Jangan lupa vote ૮₍˶ᵔ ᵕ ᵔ˶₎ა

Thankiess. ♥

-z

#exproject

Amigdala,  COMPLETEDWhere stories live. Discover now