Extra; Sukulen

10 3 1
                                    

Chapter Extra.

Sukulen;
Pot-pot sukulen mengangguk-angguk tertiup angin, mereka ingin menghibur Harsa. Tetapi mereka tidak bisa bicara, bertengger lama di jendela. Yang satu tinggi dengan bunga kuning di pucuknya, yang satu agak kecil dengan duri-duri yang lebih nyablak.

Mereka ingat pernah dibeli Harsa di sebuah florist beraroma bunga, bunga yang putiknya bisa jadi rempah-rempah atau dijadikan bumbu nasi briyani. Mereka tidak tahu namanya, yang pasti mereka ingat, warnanya ungu. Sukulen-sukulen itu menatap sedih.

Mereka tidak tega melihat tuannya terus-terusan bersedih. Mereka tidak tega mendengar tangis tanpa suara yang diredam selimut. Mereka tahu tuannya baru pulang dari rumah sakit, banyak orang-orang menjenguknya, merengkuh bahunya. Membisikan mantra-mantra kata tabah yang kadang ada yang berulang kadang ada yang tulus beneran.

dari sudut pandang sukulen-sukulen di jendela;

Setiap kali ada yang datang menjenguk, beliau selalu tersenyum. Mengangguk-angguk seolah kalimat-kalimat tadi sudah tertancap di hatinya, sudah meresap dalam hingga ia tak bersedih lagi. Padahal ya.. kalau bisa dibilang masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Ah, tidak, beliau tidak bermaksud menyepelekan kalimat-kalimat itu. Hanya saja memang sembuh dari cidera bukan perkara kebal.

Kalau begitu kenapa beliau dipulangkan dari rumah sakit? Bukannya lebih baik kalau beliau tetap di rumah sakit dulu sampai sembuh?
Temanku yang pendek menggeleng-geleng tidak tahu.

Manusia memang rumit.
Tidak sesederhana kita yang hanya menyimpan air setiap hari di tubuh. Manusia  juga  menyimpan, sih, tapi biasanya kata orang-orang yang lalu lalang di toko, airnya keluar lagi.

Saya tidak tahu apa maksud mereka, tapi bisa saya simpulkan, manusia memang rumit benar.

Seperti beliau, dia manusia yang lebih rumit dari manusia mana, pun.

Kadang-kadang beliau mengetik sesuatu di laptop abu-abunya, ditemani macciato dan kacamata bulat yang memantulkan sinar laptop. Cantik. Beliau cantik, tapi itu tidak menutupi ekspresi sedih yang samar-samar ada, samar-samar lenyap kala ia mengetik.

Saya tidak tahu beliau mengetik apa, tapi saya bisa memperhatikan beliau sangat emosional saat mengetik. Mengingat-ingat kenangan lama, ya? Agak lucu memang kalau sebuah memori bisa berubah menjadi mimpi buruk.
Bahkan kenangan indah, pun, akan terasa sedih, mengingat sudah tidak bisa melakukannya lagi. Bisa apa? Jangan bersedih karena sesuatu sudah berlalu, bergembiralah karena sudah terjadi. Kalimat itu ingin sekali saya bisikan ke beliau, sayang saya hanya sebuah sukulen yang tidak bisa bicara.

Kadang-kadang beliau terjaga di gelapnya lampu, memegangi benda kotak bercahaya ynag jadi satu-satunya sumber cahaya.

Benda kotak bercahaya itu saya yakini adalah ponsel. Dulu sebelum saya dibeli oleh beliau, orang-orang di toko sering bercakap-cakap dengan ponsel, saya jadi rindu suasana toko. Tapi saya juga suka berada di sini. Tenang, damai. Beliau juga sesekali mengajak saya bercakap-cakap. Kalau beliau dulu punya kucing bernama Pastel, sayang sekali dia hilang meninggalkan beliau. Kucing yang nakal. Saya tidak ingin hilang, saya tidak ingin jadi nakal. Saya ingin disini menemani beliau.

Beliau sering bermonolog sambil menyirami saya, bercerita dengan kata yang terlontar asal dari mulutnya.
Tentang cuaca hari ini, tentang ayah beliau yang baik hati, dan kadang-kadang beliau bercerita dengan sorot mata sedih.

Seperti teringat sesuatu. Beliau bercerita tentang raja-raja yang saya tidak mengerti, film di kebun salak, proyek video untuk kuliahnya. Kejadian-kejadian itu selalu hadir bersama labirin orang yang sama, Beliau menyebutnya Tuan Mimpi.

Amigdala,  COMPLETEDWhere stories live. Discover now